Let me be your hard, hurt, and heart ever after



Kukemas netbook milikku. Kuseret tubuhku dari perpustakaan besar ini. Aku sudah terlalu penat untuk mengerjakan separuh pekerjaan yang membutuhkan studi pustaka. Pekerjaanku memang freelance di beberapa perusahaan, tepatnya sebagai asisten. Bosku yang umurnya masih 40 taunan itu mengajakku bergabung. Kalau ditotal hanya ada 5 orang karyawan di bawah naungan bos.

Aneh memang, sudah bergabung 1,5 taun masih saja mengerjakan proyek dengan beberapa contoh kasus yang kuambil di perpustakaan favoritku itu. Almamaterku ini memang memberi hak khusus para alumninya untuk mengakses penuh isi perpustakaan. Walau begitu, bosku tak pernah complain dengan hasil yang kusetorkan. Malah dibilang puas karena biasanya aku berikan beberapa advice yang berasal dari beberapa informasi terkini yang sangat berguna bagi perusahaan yang bersangkutan.

Harusnya tepat pukul 3 siang ini aku bersama bos, mempresentasikan hasil proyek yang berkaitan dengan lingkungan perusahaan yang menggunakan jasa kami. Tapi pesan singkat bos yang masuk ke hapeku pukul 1 siang tadi akhirnya menunda langkahku ke sana. Meeting kami dibatalkan ternyata.

Setelah keluar dari perpustakaan, begitu melihat langit yang mendung, rasanya malas pulang ke kontrakan. Ingin kulepaskan penatku akibat membaca 3 textbook tebal mengenai finansial perusahaan. Kuputuskan pakai taksi saja di ujung jalan sana.

"Norbess cafe, Pak."

~~

Sampai di sana, masih sepi saja rupanya walau cafe sudah buka sejak pukul 11 tadi. Tapi aku selalu menyukai tempat yang sepi. Nyaman dan tenang rasanya menjadi diri sendiri tanpa harus mengeluarkan karakter dan mempertahankan ideologi saat berbincang.

Kupesan hot chocolate mocha dan banana pizzarela kesukaanku. Bayangkan saja pizza bertopping pisang yang sungguh manis dan keju mozzarella tak lupa kehadiran ice cream vanilla di atasnya. Yummi, sekali mencoba jadi ketagihan.

Kukeluarkan netbook tercinta meneruskan browsing mengenai harga saham terbaru dan beberapa berita ekonomi nasional. Kusimpan beberapa artikel untuk dibaca nanti di kamar. Rasanya begitu asyik menikmati suguhan grafik yang naik turun seirama menit. Alih-alih berharap rupiah menguat agar beberapa proyekku nanti lancar tanpa hambatan.

Pesananku datang bersama seorang lelaki tampan. Sayangnya dia amat muda.

"Selamat menikmati." begitu sapa lembutnya.

"Terima kasih." senyumku pun hadir seiring dia berbalik pergi melayani tamu yang lain.

Bau yang tercium dari banana pizzarela milikku ini sungguh menggelitik hidung. Kualihkan pandanganku sebentar ke arah jendela. Sudah hujan deras ternyata. Walau di tempat dudukku tak bakal basah, tapi aku memilih menikmati hujan dengan menyeruput hot chocolate mocha. Kuamati rintik yang terkadang menipis melalui jendela besar sedikit gelap itu. Kulihat ada seseorang di ujung jendela sana mengamatiku atau mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif pada lingkungan. Bau harum pisang yang masih hangat kembali menarik monyong bibirku untuk melirik nakal pada pizzarela. Kulihat dengan sorot penasaran, sosok yang mengamatiku tadi tertawa sepertinya melihat tingkahku. Ahh, apakah aku salah duga? Tak ambil pusing langsung kuambil garpu dan pisau di samping. Aku lebih peduli pada perut gemerucukku.

Baru separuh kuhabiskan, aku kembali pada netbook. Kebiasaanku memang tak langsung menghabiskan makanan kalau sedang begini. Kukeluarkan rokok dari dalam tas dan kunyalakan satu batang. Kulirik sosok berkemeja merah muda tadi, agaknya ekspresinya kali ini mencerminkan tak kesukaannya bercampur kaget melihat seorang wanita muda merokok di depannya. Aku kembali tak ambil pusing, toh aku tak mengganggu siapapun di meja ini. Pun meja yang kupilih memang untuk smoking area.

Kali ini kukeluarkan buku finansial publik yang tadi kupinjam. Kubuka beberapa lembar dan kucatat dalam notesku. Aku masih menyukai ritual ini padahal sudah bertahun-tahun lalu kutanggalkan status kemahasiswaanku. Sesekali kusandarkan pundakku yang rasanya sedikit pegal dan tak lupa kucomot perlahan pizzarela yang masih menggoda.

"Boleh mengganggu?"

Aku terkejut sapaan barusan. Sosok lelaki berkemeja merah muda tadi kini di hadapanku dan menyapa.
"Ah, maaf ?? Kita pernah bertemu ?"

Sosok tadi malah membalas hangat dengan sebuah senyuman
"Ya, tadi. Sesaat setelah hujan turun. Pandangan anda bertemu dengan saya. Boleh kita berkenalan ?"

Aku yang masih saja terkaget berusaha keras menguasai emosiku sendiri. Jarang-jarang aku mau berkenalan di tempat umum, tapi agaknya pada lelaki ini aku kecualikan.
"Boleh. Anda siapa?"

"Panggil Tommy saja. Anda ?"

"Sarah."

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya.

"Ah, silahkan."

"Kalau begitu saya ambil barang saya dulu di sana." senyum manisnya masih saja muncul di lekuk bibirnya. Hah, Sarah. Apa yang kau lakukan?

Aku kembali mengamatinya di ujung meja sana. Dia hanya mengambil jas dan secangkir gelas miliknya. Dari aromanya yang mendekat aku tau itu kopi robusta, tapi aku tak tahu dia pesan campuran yang mana. Masih sambil tersenyum dia pun duduk di depanku. Kusingkirkan beberapa barang-barangku di meja, tapi dia mencegahku.

"Tak apa-apa. Biarkan saja."
"Em, kuperhatikan tadi kau sedang asyik dengan buku dan netbookmu."

"Ah ya. Aku sedang mengumpulkan beberapa berita tentang ekonomi dan finansial negeri ini."

"Kau penulis berita?" tanyanya lugas.

"Hahhaa. Memangnya aku terlihat seperti itu?" tanyaku kembali padanya.

Sambil mengernyitkan mata agaknya dia sedang berpikir sebentar, "Tidak, aku rasa. Tapi bisa jadi bukan?"

"Ya, kau benar. Aku hanya penikmat berita."

Obrolan kami pun berlanjut pada sekitar berita tanah air. Awal mulanya cuma ekonomi, lama-lama bahasan meluas sampai ke politik bahkan kebudayaan.

Lelaki berkemeja merah muda ini ternyata bekerja di sebuah perusahaan yang akan kudatangi pukul 3 siang ini kalau saja meeting itu tidak dibatalkan. Begitu kutanya apa bidangnya, agak kecewa karena dia hanya bilang masih penempatan dan training. Bebas sekali pikirku, jam segini masih kelayapan di luar dan santai-santai di cafe. Tapi aku kembali tak ambil pusing karena memang bukan urusanku.

"Kau tadi merokok ya?"

"Hmm, ya. Kau memperhatikan?" basa-basi benar aku ini.

"Enak tidak??" aku hanya melongo ketika dia menanyakan ini.

"Hmm, enak sih tidak. Aku merokok hanya untuk melepas penat. Kubiarkan penat itu melayang di udara bersama asap tembakau ini. Kau sendiri merokok?" tanyaku.

Dia hanya menggeleng, tapi kukejar sampai akhir, "Pernah merokok ?"

Dia kembali menggeleng dan aku pun tertegun, "Kenapa? Kau tak pernah mencoba merokok, Tom?"

"Aku tak suka, dulu ibuku perokok." singkatnya dan aku pun tak berusaha mengejar jawaban lagi, kulihat dia jengah dengan percakapan ini.

"Ah, hujan sudah reda, Ndra. Aku balik ke kantor dulu ya." aku mengangguk.

Dia pun menghilang di balik gerimis dan aku kembali sibuk pada grafik saham yang masih naik turun seiring menit.

~~

Beberapa hari setelahnya, aku kembali ke Norbess Cafe. Bosan aku di rumah menghadap ribuan data yang harus kuolah. Tak lupa kumasukkan rokok kesayanganku dan dompet ke dalam tas. Kuambil kunci Honda Jazz putih dan kunci rumah.

Sampai di sana masih saja sepi. Bisa jadi karena hujan atau memang orang-orang masih belum berniat pergi kemari pukul 4 sore ini. Aku pun memilih duduk di pinggir jendela. Setelah memesan menu kesukaan, kukeluarkan rokokku dan kunyalakan sebatang.

"Tidak bergumul dengan berita?" sentuhan di pundakku itu membuatku kaget.

"Tommy ??" yang disapa hanya nyengir kuda.
"Pulang kantor, Tom?" dia pun duduk di depanku tanpa permisi.

"Hmm, ya. Begitulah. Sudah pesan?" dan aku pun mengangguk sejurus kemudian dia memanggil pelayan dan memesan secangkir romeo coffelate, setahuku campuran kopi robusta dan susu juga sedikit krim.

Perbincangan kali ini pun sampai malam. Sampai kami diusir secara halus oleh pemilik cafe dengan mematikan lampu dan sound ruangan.

Tak kusangka Tommy mengajakku berkeliling kota sebelum berpisah. Kutitipkan mobilku di parkiran terdekat dan masuk ke mobil Tommy. Sedikit aneh bagiku karena benar-benar baru sekali ini, aku mau-maunya keluar bersama orang yang baru kukenal 2 kali. Tapi entah rasa nyaman dan aman itu menutupi seluruh rasa anehku pada kejadian ini.

~~

"Sandrooo, nanti kau sama Pirman ya temani aku meeting yang ditunda pekan lalu." hih, bosku memang suka mengganti-ganti nama orang.

Siang ini aku memang pergi ke kantor yang bersambung jadi satu dengan rumah si bos. Ruangan sederhana milik kami berlima, hanya tempat singgah berkas-berkas milik beberapa perusahaan bercampur berkas presentasi kami.

"Jam brapa boszhi?" saking sebalnya nama bos pun kuganti boszhi padahal aku sendiri tak tau artinya, tapi biarlah.

"Habis ini, kau siap-siap yaa."

"Ah, pak bos memang suka mendadak." gerutuku.

"Hahhaaaha, kau ini masih muda nak. Terbiasalah dengan yang tua ini. Oh ya, kau yang setir ya, sudah tua nih. Ndak kuat jantungku kalo naek Pirman, nyetirnya kayak orang mabok." aihh, enaknya dia melantur.

~~

Sesampai di perusahaan, kami diminta menunggu sebentar. Kantor yang minimalis tapi asri. Aku suka suasananya. Apalagi kebanyakan dinding terbuat dari kaca, membuat sinar matahari yang nyalat itu masuk. Hangat rasanya. Lukisan-lukisan yang menghias beberapa dinding pun juga tak kalah menyambut kami yang masih saja menunggu sekretaris perusahaan mempersilahkan kami masuk ke ruang meeting.

Tak lama kemudian, kami diantarkan ke lantai 2 dan masuk ke sebuah ruangan berpintu merah. Sampai di dalam agaknya kagetku tak berhenti. Di dalam sana tentu saja ada Tommy. Memang Tommy pernah bercerita di awal pertemuan kami kalau dia bekerja di sini. Tapi aku yakin, kursi yang diduduki Tommy tak lain adalah kursi direktur utama.

Sekretaris perusahaan pun mengenalkan pada kami bertiga.

"Ini bapak Tommy Soetjokro, direktur utama kami. Beliau baru diangkat minggu lalu atas keinginan dirut sebelumnya. Karena itu kemaren rapat mendadak cancel. Kemudian bapak-bapak di hadapan anda ini adalah dewan direksi kami."

Sepertinya kisah ini akan semakin panjang. Tertundukku selintas melihat cincin emas putih yang melingkar di salah satu jari manisku. Tadi malam Tommy melamarku dengan syarat kutinggalkan hembusan asap rokokku dan menggantikannya dengan satu hal yang akan dia berikan saat perkenalannya dengan keluargaku nanti. Keanehan ini masih berlanjut dan menjadi misteri bagiku karena tadi malam tak tau energi dari mana, kuanggukkan mantap, "Let me be your hard, hurt, and heart ever after."



ps. Life is a maze and love is riddle, and why?