ketika nama tak lagi bermakna



Lalu kau akan terbang,
berlandas ombak diselingi sinar mentari
bersama anyelir yang gugur tanpa angin

Desember 31, 2009


Kututup buku harianku dan memandang mendung yang mengalir di langit luas. Kurebahkan punggungku pada kursi akar wangi kesukaanmu, rasanya kau masih di sini. Hangatmu masih tersisa dan itu membuatku tersenyum tipis.

"Anyelir"

Rasanya ada yang memanggil namaku, tapi tak ada siapapun ketika ku menengok. Ah, halusinasi.

---

"Pak, ini sudah saya masukkan ke kardus semua. Tinggal nunggu si Mamang masukin ke pick-up."
"Pak ... pak ?!"


"Ah, ya, bik. Makasih ya." kulihat bibik pun berlalu ke dapur membereskan yang tersisa.

Aku masih terpaku pada kursi akar wangi yang kosong, tempatmu menungguku pulang. Hari ini tepat tiga tahun kita menempati rumah ini, rumah yang kubeli dengan keringatku sendiri. Sekarang, tanpamu, aku memilih pergi.

"Anyelir," bisikku memanggil namamu.

---

"Pak, sudah rintik. Hampir hujan, mari pulang."

"Bibik ke mobil duluan saja, sebentar saya masih mau di sini."

Kulirik dari sudut mata, bibik pun berlalu. Dan aku masih terpaku padamu, pada sebuah batu.

Anyelir binti Gunarjaya
Lahir : 2 Juni 1982
Wafat : 30 Desember 2009

"Baik-baik ya, sayang. Aku pergi. Ah ya, selamat tahun baru."
"Anyelir," kubisikkan lagi nama pada nisanmu.

---

"Kenapa kamu lama sekali, sayang? Jam segini masih belum pulang" batinku.

"Anyelir"

Kutengok lagi ke arah pintu, dan lagi-lagi aku berhalusinasi suara bisikan yang memanggil namaku. Kuhela nafas berat, dan kembali merebahkan punggung di kursi akar kayu wangi kesukaanmu. Dan aku pun tertidur, lama.

---selesai---




--Jogjakarta, 28 Desember 2010 23:27--
--dalam benci kepada cinta--

pict. source = katie-d-i-d.blogspot.com

Melly Goeslow - Suara hati seorang kekasih



iblis juga kadang jenuh

Beberapa berkas usulan Rancangan Goda berjejal di meja, rasanya malas kusentuh. Dari beberapa hari kemarin cuma duduk di balik meja kerja sambil sesekali bermain percikan api mancur di sudut mejaku. Laporan bawahan pun kuanggurkan begitu saja.

Ditambah pula proyek perekrutan penggoda baru di beberapa divisi mau tak mau membuatku harus mengirim balik berkas lamaran yang disetujui divisi kami. Tidak sembarangan kami menerima penggoda, selain level tingkat ajar yang sudah distandarkan untuk beberapa posisi, kami juga harus mempelajari berkas para calon dengan teliti, baru nanti beberapa yang terpilih akan diselidiki selama seminggu untuk mendapatkan tanda sah kami atas diterimanya si calon menjadi iblis penggoda di divisi ini. Dan sepertinya, ratusan berkas pelamar masih ada di ujung ruangan.

Kabar yang baru saja kuterima tidak juga membuatku kembali sedikit bergairah. Ruw dan Ana baru seminggu ini telah menempati rumah baru mereka. Relokasi yang dilakukan Pengelola Wilayah Duniawi untuk area 3 memang dilakukan beberapa tahap, kebetulan mereka dapat jatah tahap pertama, tak perlulah menunggu lama.

Tapi tetap saja, rasa-rasanya jenuh ini tak mau beralih barang sejenak saja. Kalau aku begini terus, bisa-bisa Pengelola Bagian Kerja memberi surat teguran karena grafik efisiensi kerjaku mulai menurun.

Akhirnya aku memutuskan beranjak keluar ke Pengelola Koleksi Buku Kerajaan setelah sebelumnya meninggalkan pesan ke Asisten Petinggi Divisi Penggoda Lelaki di tempatku. Kuambil beberapa buku di sana dan menghabiskannya di Taman Koleksi sambil sesekali mengintip mendung yang bergelayut di langit manusia.

Jika mendung datang, biasanya laporan bawahan juga mulai meningkat. Lebih mudah menggoda lelaki di hari yang dingin, begitu alasan para bawahanku. Tapi karena aku berada jauh dari meja kerjaku, biarlah. Mau dikerjakan pun, laporan yang kemarin saja belum ada yang kubaca.

Apalagi kudengar dari beberapa penggoda lapangan yang kadang mampir ke atas, beberapa hari ini manusia area AsTe sedang mencapai euforia pertandingan di mana para pemain dan pelatihnya seluruhnya berjenis lelaki. Lagi-lagi divisiku jadi kena getah kerjanya juga. Meskipun pembagian tugas sudah kulakukan saat pertemuan penggoda beberapa hari lalu, tetap saja sebagai penggoda level tinggi sepertiku ini haruslah mengawasi kerja para bawahan. Ahh, rasanya ruh apiku mau pecah saja menuangkan kembali tumpukan pekerjaanku kali ini.

"Tiffie !!"

Hampir saja menghabisi setengah dari halaman pertama buku yang kubaca di Taman Koleksi, tak disangka devil pocket messenger milikku berbunyi.

"Divisi Pengelola Kerja menagih berkas pelamar, secepatnya. -Luffie-"

Aku cuma termangu di taman sambil membaca kembali pesan yang dikirimkan asistenku. Secepatnya itu artinya lebih cepat dari percepatan halilintar. Dan aku pun bakal cepat-cepat kembali ke meja kerjaku, meneliti ratusan berkas yang hanya akan kuambil beberapa saja.

Aku jenuh !!


---

Ditulis oleh malaikat hitam yang telah sempurna berubah menjadi manusia berhati iblis sebelum menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.




---


kisah ini adalah serial iblis


--Jogjakarta, 27 Desember 2010 23:09--
--ide oot yang diteruskan tapi malah keterusan--

pict. source = sodahead.com

suratku untuk langit




Langit,
Hari ini kau cerah, damai memandangnya. Khatulistiwa memelukku hangat, meredam segala jenis kekecewaan pada hidup yang sedikit terpulas hitam. Semilir angin lembut, menyibak rambutku pelan, membelaiku. Terima kasih, aku merasa tenang.

Langi,
Birumu yang tergores awan putih, memang bukan biru milik danau yang sanggup memantulkan semua ekspresimu. Aku tau kau mampu menerka emosiku bahkan arti sebersit senyuman milik bibirku, dan kau tak pernah membisikkannya pada dunia. Terima kasih, kau menjaga rahasiaku.

Lang,
Seringkali aku berniat meminjam sayap malaikat, untuk terbang ke labuhmu. Sayangnya, sebelum kuutarakan niat ini, malaikat pergi menjauh. Hanya iblis kecil menemaniku di sini, menawarkan sebagian sayapnya untuk kupakai. Tapi aku tak mau, sayapnya hitam kelam, sekelam dirimu jika kau sedang mengantarkan badai. Walau aku belum mampu terbang ke sana, terima kasih langit, tak ada badai pagi ini.

Lan,
Aku hidup di dunia abu-abu, campuran dari hitam dan putih yang terus bergantian. Terkadang dunia ini berwarna abu-abu terang, meskipun tak jarang kutemui warna abu-abu pekat. Ketika sudah sampai pekat, harusnya aku menjadi putih. Harusnya. Terima kasih langit, birumu sedikit mengurai hitamku, walau hanya sedikit.

La,
Detik waktu yang kumiliki selalu berputar ke depan. Aku mengejar jarumnya agar tak berdentang di angka dua belas, tapi aku selalu terlambat. Dentingan simfoni dua belas terlanjur terdengar memekakkan telinga. Aku benci dimensi waktu dan aku terjebak masa laluku. Terima kasih, bentangan luas milikmu memukauku barang sebentar, melupakan kebencian di dunia abu-abuku.

L,
Berhenti sejenakku, memandang geliatmu. Langit, Langi, Lang, Lan, La, L. Habis sudah. Terima kasih, telah menjadi saksi hitam dan putihku, lalu masuk ke dunia abu-abu. Aku terjebak, inginku keluar, aku bosan.

"Terima kasih langit, temani aku dengan birumu" bisikku.




--Jogjakarta, 15 Desember 2010 8:52--
--Ada seribu kata mampu terbias, tapi ada 3 kalimat yang susah diungkapkan. Cinta, terima kasih, dan maaf. Hari ini, kumulai dengan terima kasih.--

pict. source = photobucket.com (edited with photoshop)

semoga harimu indah



"Do you want to love me ? Or do you want I love you ?"


"Hah, kamu ngomong apa sih?"

"About love."

"Damn."

Laki-laki ini selalu saja mengikutiku. Duduk dengan sengaja di depanku. Selalu setiap hari di coffee shop tempat aku biasa menghabiskan brunch-time. Berbicara tentang hal yang sama, cinta.

"Aku tidak kenal kamu, aku tidak tau kamu siapa. Aku tidak peduli pada kamu dan aku tidak peduli pada apa yang kamu bicarakan," pernah aku berbicara demikian padanya. Tapi dia hanya memandangku dalam diam, kemudian meluncurlah dari mulutnya, "Don't you care about love?"

---

Hari ini adalah minggu pertama, hari kerja yang sangat sibuk. Tapi tetap saja aku keluar menagih brunch-time, tempat yang sama brunet-coffee, hanya di seberang kantorku.

Kupilih meja kosong dekat jendela, tempat biasa yang tak pernah disinggahi orang selain aku di jam segini. Tak lama waitress datang dengan apron merah mudanya dan aku memesan beberapa picis makanan dan banana-milk.

Tak lama kemudian makananku datang, aku sudah bersiap dengan novel tebalku sejak tadi. Sejenak waitress menyeletuk, "Maaf, ada titipan untuk anda nona."

Kukernyitkan alisku dan kulihat sekeliling sebelum membuka lipatan surat berwarna kuning. Lelaki itu tak datang, aneh.

Kubuka perlahan dan kubaca pelan.
"Terima kasih telah menjadi pendengar setiaku. Aku tak akan lagi bertanya tentang cinta padamu. Semoga harimu indah. Athen."

Hmm, jadi namanya Athen. Kubaca ulang surat itu dan ada yang sedikit janggal di sana. Entah, tiba-tiba aku berlari keluar dari coffee-shop. Kuremas surat itu dan tergesa kakiku melangkah ke ujung jalan. Terlihat sekumpulan orang tengah berkumpul melongok ke bawah jembatan. Makin bergegas ku dibuatnya.

Kulongokkan perlahan kepalaku ke orang-orang yang tak kalah ramai di bawah jembatan. Jaket kulit warna cokelat tua, topi baseball merah, dan berlumuran darah. Oh tidak, kakiku lemas. Itu dia, lelaki yang tak kan pernah lagi bertanya tentang cinta.

---



--Jogjakarta, 10 Desember 2010 22:27--
--mood hari ini gelap--


pict. source = photobucket.com

nothing to do with you, it's personal, my self and I



I hope you know, I hope you know.
That this has nothing to do with you.
It's personal, Myself and I

Kau dan aku hanya terdiam. Melihat langit penuh bintang di perbukitan. Nyaris sempurna dalam diam. Hanya lukisan malam terpampang untuk santapan mata.

We've got some straightenin' out to do
And I'm gonna miss you like a child misses their blanket

Tak lagi kuhitung berapa banyak bulan purnama terlewat saat kita terpisah jarak. Awal yang meragu, saat aku masih mengubur, kau sibuk dengan masa lalu, dan aku memilih mundur.

But I've got to get a move on with my life
It's time to be a big girl now
And big girls don't cry
Don't cry, don't cry, don't cry

Di purnama yang ke sekian kau datang, berbicara tentang kata. Tapi payah, kau masih bermain dengan isyarat. Aku malas membaca dan masih belum mau beranjak.

The path that I'm walking
I must go alone
I must take the baby steps until I'm full grown

Pernah terbit suatu keinginan, tapi aku masih tak mau terkuras nafsu walau terkadang menyenangkan. Melawan hasrat walau tak kan mudah.

Fairytales don't always have a happy ending, do they
And I foresee the dark ahead if I stay

Orion itu terang karna kita berdua berada di bukit tertinggi milik bumi, tempat terdekat untuk kaki langit. Tak ada cahaya yang mampu mengalahkan terangnya. Dan kita terselimut gelap.

Like the little schoolmate in the school yard
We'll play jacks and uno cards
I'll be your best friend and you'll be mine valentine
Yes, you can hold my hand if you want to
'Cause I want to hold yours too
We'll be playmates and lovers and share our secret worlds

Kau mau bermain? Bolehlah untuk sesekali, asal kau tak bermain tentang pertanda. Kan kurentangkan tangan bila ku ingin, tapi kujulurkan kaki jika letih mendera.

But it's time for me to go home
It's getting late, dark outside
I need to be with myself instead of calamity
Peace, Serenity

Saatnya pulang, tinggalkan bukit bintang, tak perlu ada memoar tersusul. Tak perlu menjadi snow white, sleepin beauty, bahkan little mermaid sekalipun. Aku tak lagi hidup di dunia dongeng. Temuilah 7 kurcaci yang kan menemanimu jika kau kesepian.

I hope you know, I hope you know
That this has nothing to do with you
It's personal, Myself and I

Aku harap kau tau, karna aku tidak bicara tentang isyarat. Aku berbicara tentang kata.



--Jogjakarta, 8 Desember 2010 13:28--
--ketika kata tak lagi terukir indah--

pict. source = photobucket.com

liburan akhir pekan di kerajaan Iblis

Kudapati sebuah lembaran note simpel tertulis di sebuah kertas yang diletakkan begitu saja. Kusentuh, terasa panas. Kuulas senyum kemudian, surat dari kerajaan ternyata.

---

"Pengelola Bagian Kerja menitahkan kepada seluruh penggoda-penggoda untuk rehat sejenak setelah semingguan ini bekerja keras. Paduka cukup puas dengan hasil kerja. Selamat berlibur di akhir pekan."

---

Setelah kubaca, sekejap seluruh kertas berubah menjadi abu, khas surat yang selalu dikirim kerajaan yang berstempel api.

Karna itu, akhir pekan ini aku berlibur dari kerjaku sebagai penggoda, sungguh liburan yang sangat jarang kudapatkan mengingat kerjaanku yang seabrek tak pernah selesai. Walau begitu, tetap kunyalakan devil-messenger untuk menerima pesan dari para bawahan. Kuteliti d-mail yang masuk, tiba-tiba satu pesan online masuk.

Conkz : "Libur nih, bingung mau ngapain."

Segera saja kubalas,
Me : "Loh, biasanya hang-out bareng sama Ruw ato Ana?"

Conkz : "Lagi stress mereka, abis kena relokasi."

Me : "Duh, pindah ke mana?"

Conkz : "Ga tauk, lagi ngungsi di pelataran. Belum jelas dari pihak atas."

Me : "uftt.."

Oconkz adalah teman belajarku dulu waktu kecil. Kita duduk berdampingan sejak tingkat ajar I. Ketemu Genderuw (aku panggil Ruw) dan Kuntanak (Ana) pas tingkat ajar II dan sejak itu kita gabung terus sampai tingkat ajar X. Ruw dan Ana langsung diterjunkan ke lokasi kerja, sedangkan aku dan Oconkz meneruskan sampai tingkat ajar XII.

Aku sedikit beruntung karena masih bisa meneruskan ke tingkat ajar lanjutan yang membawaku menjadi penggoda level tinggi. Dengan fasilitas mewah walau kerjaan seabrek, aku jarang turun ke bumi. Berbeda dengan ketiga sahabatku yang kerjaannya memang di bumi.

Sejak minggu lalu, semua divisi level tinggi mendapat tugas dari Paduka. Karena itu banyak yang bersuka-ria (jarang-jarang paduka menurunkan titah langsung), dan kami para penggoda level tinggi pun membuat pembagian tugas kepada bawahan-bawahan. Tugasnya cukup gampang : "Bumi sedang bergerak, kacaukan manusia. Tidak boleh ada satu pun yang terlewat, kacaukan tuntas."

Sedikit kuceritakan tentang divisiku ini. Kami bekerja untuk menggoda manusia, tepatnya yang berjenis lelaki. Dengan beragam bisikan yang sering dilakukan bawahanku, sampai ada yang sanggup menyamar menjadi beragam bentuk yang sangat menggoda lelaki bumi (sebenarnya tergantung level mereka sendiri sih). Dan karena ada titah dari Paduka langsung, kami pun bergerilya mencari lelaki lebih cepat dari biasanya. Kami hembuskan ide-ide konyol ke telinga mereka hingga semua kata yang terucap selalu menyakiti manusia lainnya. Tak terkecuali siapapun lelaki di bumi, kamilah ahlinya. Dan surat dari Pengelola Bagian Kerja menjadi bukti ketangguhan kerja kami selama seminggu ini. Bumi sedang kacau balau, tak ada satupun lelaki yang mampu berpikir bersih.

Tentang Ruw dan Ana, sebenarnya aku juga tak mampu menawarkan sesuatu. Pembagian wilayah di bumi diatur oleh Pengelola Wilayah Duniawi. Terkadang memang tidak enak menjadi penggoda lapangan. Gara-gara bumi sedang bergerak, kudengar Pengelola Wilayah Duniawi memanggil seluruh penggoda lapangan area 3 untuk berkumpul di pelataran. Baru kutahu dari lelaki-lelaki di bumi bahwa area 3 luluh lantak, pantas saja Pengelola Wilayah Duniawi sampai harus memanggil seluruh penggoda lapangan di area itu. Tak ada lagi pepohonan besar yang nyaman untuk ditinggali penggoda-penggoda level kecil seperti Ruw dan Ana.

Kulanjutkan candaku bersama Oconkz di devil-messenger. Kutawarkan datang ke rumahku yang menggantung di langit ke-tujuh, sayang visa miliknya habis tenggat. Belum sempat diurus, divisinya malah ikut berlibur. Dan aku sendiri juga masih bingung, jarang liburan jadi bingung mau ke mana.

---

Ditulis oleh malaikat hitam yang telah sempurna berubah menjadi manusia berhati iblis di balik meja kerjanya.



---




kisah ini adalah serial iblis


--Magelang, 13 November 2010 14:45--
--dapet ide abis OOT di tempat tetangga, wkwk--


pict. source = fanpop.com

kata maaf terakhir




Rumah Devy, 25 Oktober 2009


"Karena itu, aku yakin bahwa aku telah membuat kesalahan fatal. Maaf, Dev?"

"Ya ampuuun. Itu kan kejadian udah waktu kuliah dulu. Its okey, Vina. Lagipula udah 5 taun lalu. Lets move on, dear." sambut Devy sambil menggenggam tanganku dan hanya kubalas sebuah senyuman lega.

---

Pemakaman, 26 Oktober 2009

"Dia membuat daftar ini." ucap Devy sambil menyerahkan berlembar-lembar kertas lusuh.

"Katanya.." hening sebentar Devy menangguhkan kalimat.
"Katanya dia berusaha mengingat yang mampu dia ingat, semuanya dia datangi, satu-persatu. Harus bertemu langsung katanya."

"Pantas dia sibuk belakangan ini." gumam Andre sambil membalik berpuluh-puluh kertas itu.

"Di tempatku kemarin, dia serahkan kertas itu. Katanya tak butuh lagi. Tinggal satu orang, tinggal satu nama yang harus dia datangi..."

"Hanya untuk mengucapkan maaf untuk kesalahan yang bahkan orang lain sudah melupakannya? Benar-benar gila." potong Andre ketus.

"Ndre, cuma tinggal namamu yang belum dia coret."

---

Tepian pantai, 1 Januari 2010

"Mungkin aku bukan puisi
dan angin telah merobekku terbang
melayang sampai ke awan
dan entah kan terhempas sampai mana

Entah kenapa aku sangat berlumpur
terasa noda mengganjal
semua berlapis kabut
hingga tak kusadari menjadi remang

Aku rindu cahaya
bebas dari rasa sakit dan kesalahan
untuk itu kusampaikan satu kata
Maaf, walau sudah tak lagi bermakna."

Kembali Andre membuka halaman pertama dari lembaran-lembaran tulisan Vina. Dia baca satu-persatu nama yang tercantum di sana. Dan kembali dia baca halaman terakhir,

"Siang telah termaktub
dalam helaian surat takdir
di sini ku hela dosa terakhir
dalam nafas maaf yang segera kusampaikan padanya

untuk Lelakiku, Andre,"

Masih berdiri sosok Andre di tepian pantai. Dihela nafasnya dalam-dalam membaca kalimat terakhir,

"Maaf sayang, entah kenapa, aku merasa tak bisa menerima lamaranmu. -Vina-"

Senja semakin merapat malam. Lembaran-lembaran itu diletakkannya begitu saja di tepian pantai, hingga tergerus ombak dan karang terjal, lalu kembali lagi ke laut.

---

Penutup

Di ujung jalan, seorang lelaki telah menanti jawaban, tapi gadis itu telah pergi. Direnggut oleh malaikat maut bersamaan sebuah bis yang menyambutnya ketika langkah kecilnya mencoba menyeberangi jalan besar. Tak pernah ada jawaban, hanya kata maaf terakhir hampir tersampaikan.




--Jogjakarta, 25 Oktober 2010 11:58--
--tanpa penjelasan--

pict. source = photobucket.com

I gone



Langit terlihat sedikit mendung padahal malam hampir tiba. Lampu-lampu jalanan sudah mulai dinyalakan.

Sedikit ragu tersimpul di ujung jariku. Hampir 15 menit hanya kupandangi layar handphone ini. Ada sebaris kata dan sebuah nomor tujuan. Juga masih ada pertanyaan, "send?"

Menit ke 20 lewat sudah. Dengan menutup mata, akhirnya kutekan tombol "yes".

---

"Hei."

"Ah, hei." kagetku.

"Hmm, udah pesan minum?" tanyamu.

"Enggak lihat apa ada jus jeruk hampir habis di depanku? Lama banget sih. Kirain enggak bakal dateng," manjaku.

"Aku pesen minum dulu ya." jawabmu singkat sambil berlalu ke arah meja barista.

Kupandangi kau yang berjalan ke arahku dengan senyuman mengembang.

"Pesan apa?" basiku.

"Biasa. Hazzelnut mochalatte." jawabmu sambil menahan mataku ke arahmu.
"Enggak pesan lagi kamu?"

"Enggak ah. Mau ngomong langsung aja sekarang."

"Ngomong aja," potongmu.

"Hubungan kita mau dibawa ke mana?" tanyaku pelan.

Kau terlihat kaget dan berusaha untuk menguasai dirimu sendiri. Mungkin kau sedang menyusun jawaban.

"Maaf," ucapmu sangat lirih.

Hening di antara kita. Kuhela nafas sedalam-dalamnya.

"So I should have gone," tatapku tajam sambil menunggu reaksimu.
"I gone," tegasku kemudian sambil bangkit berdiri dari kursi yang mulai terasa panas.

"Mau ke mana?" tanyamu sambil meraih tanganku.
"Duduklah dulu sebentar."

"Untuk apa, Awan?"

"Friend, may be?" ragumu.

"No, thanks," kutepis tanganmu dan pergi berlalu.

---

Kumasuki kamar yang sudah 4 tahun ini sering kudatangi. Kulepas high-heelsku dan kulempar begitu saja ke pojokan. Kurebahkan segera tubuhku ke kasur empuk di sana.

"Pulang-pulang kok gak cuci kaki sih?"

"Biar," jawabku sekenanya.

"Habis dari mana hunney-ku ini?" beralihmu dari meja komputer ke atas kasur dan menindihku.

"Nyobain cafe sama si Awan tadi pulang kantor."

"Hmm, temen divisi sebelahmu itu?" kau belai hidungku pelan.

Kuanggukkan kepalaku malas. Kau memandangku lama, lalu memagutku pelan.

"Nis," panggilmu.

"Kenapa Fion?" panggilan mesraku untukmu.

Kau berdiri dan mengambil sesuatu di laci meja komputermu.

"Will you marry me?"

Kau tunjukkan sebuah cincin mungil nan cantik dan aku hanya mampu meneguk ludahku sendiri, tak tahu harus menjawab apa. Karena bisa jadi, Fion adalah lelaki keempat malam ini yang bakal kuputus hubungannya. Pacarku ada tujuh.

---


--Jogjakarta, 13 Oktober 2010 23:14--
--konyooolll, cerita nakal euih--


pict. source = photobucket.com

you know I'm such a fool for you

Bukankah hujan selalu menarik untuk mengawali sebuah pertemuan? Aku masih senantiasa menunggumu di tempat kita pernah bertemu. Di salah satu meja sebuah restoran dengan pelayan yang memakai celemek cokelat muda.

Sejam telah berlalu, kuhabiskan dengan memandang lurus layar handphone bercorak hitam. Tak ada panggilan, tak ada pesan. Bahkan pelayan telah dua kali kupanggil untuk memesan minuman kesukaanku, air mineral dingin.

Tak ada lagi pertanda kau akan datang. Sedetik lagi rasanya aku ingin menyerah. Tapi ingatan tentangmu tiba-tiba terlintas.

Senja yang dulu kucinta, kubenamkan kedua kakimu di pasir lembut pantai kecil yang sorenya hanya milik kita berdua. Kau bercerita entah tentang siapa, yang kuingat hanya ada aku dan kau. Berteman air laut yang mulai pasang dan nelayan udang ebi yang mulai mencari nafkah.

Malam-malam setelahnya, kau bermain-main dengan helai rambutku yang masih panjang. Kau banyak bercerita tentang dirimu, masa kecilmu, bahkan kekasih yang pernah singgah di hatimu. Aku ingat bahwa aku tak lebih dari sekedar pendengar setiamu.

Kemudian kau menarikku kasar ke tempat kau ingin menunjukkan sesuatu dan aku mengaduh kesakitan. Lalu kau genggam lembut jariku dan memandangku lurus. Aku tak tahu harus mengawali darimana tentang pembenaran atas semua yang kau lakukan padaku.

Dan aku mulai cemburu pada semua yang mendekatimu. Semua yang mendekatimu seperti dengungan lebah yang tak pernah berhenti di telingaku. Seperti nyalat matahari yang selalu membuatku panas dan ingin menutup mata. Tapi selalu kau dinginkan saat percakapan menjadi milik kita berdua, bahkan tak seorang pun mampu masuk ke tengahnya.

"You know I'm such a fool for you, you got me wrapped around your finger, do you have to let it linger, do you have to?"
Cranberries, kesukaanku yang jadi kesukaanmu juga. Sekarang, aku benar-benar merasa bodoh karenamu.

Hujan semakin deras dan aku sudah sampai di detik kepasrahanku. Bendera putih berkibar di seluruh pembuluhku. Aku menyerah tentangmu dan mulai berkemas, pergi meninggalkan semua yang kenangan.

Rintik gerimis tanda hujan mereda dan kulangkahkan kakiku menuju tempatku menepikan cerita. Tergopoh-gopoh kau datang dalam kepayahan dan basah. Dalam nafas yang memburu kau bertanya, "Apakah aku terlambat ?"


--Jogja, 5 september 2010 19:15--
--kembali menulis tentang kisah berbumbu imajinasi--

kisah cinta terusang




Rentang hari sudah semakin sore. Matahari yang melekat sejak pagi juga sudah mengatupkan janji perkasanya. Area senja telah terpapar rapi di setiap ujung kaki langit.

Kalau dihitung-hitung resmi sudah aku menjalani 17 jam hari istimewa. Hari ulang tahun ke-25 milikku atau apapun dunia menyebutnya. Hanya satu ucapan seseorang kutunggu-tunggu sejak malam buta. Hingga kini tak ada kabar. Cuma satu pesan singkat mampir di telefon genggamku.
"Kalo nggak ada acara, nanti kujemput jam 8. (Dean)"

Di lantai lima gedung kantorku ini, aku menanti detik-detik waktu berdenting menunjukkan pukul 5 sore. Aku ingin segera pulang, mandi paling wangi, pakai baju paling manis, memilih aroma parfum paling unik. Hari ini aku ingin tampil lain. Tapi kenapa kerjaan masih menumpuk tak kunjung usai. Ah, proyek seminggu lalu ini sudah berkali-kali gagal masuk final karena manajer divisiku belum juga puas tentang kerjaan timku.

Sambil meminum cokelat panas jatah kantor, akhirnya kuteruskan sedikit koreksi di beberapa paper. Nekat pukul setengah enam nanti, aku baru pulang. Pun kalau ngotot di kantor, tetap saja aku tak mampu berpikir apa-apa, pikiranku melanglang buana di dunia fantasi.

~~

Sampai di rumah, ternyata sudah pukul 7 malam. Buru-buru kuambil handuk dan membersihkan diri. Baru setelahnya proses mempercantik diri dimulai. Tapi rasanya memang tak maksimal, mau bagaimana lagi. Bagi Dean jam 8 adalah jam 8, tak ada 5 menit atau 10 menit kemudian. Hanya kalung yang pernah Dean berikan di awal hubungan tidak jelas kami membuatku sedikit bernapas lega karena masih menggantung cantik di leherku yang jenjang. Paling tidak, toh pasti Dean tetap bilang aku cantik.

Kulihat jam dindingku telah hampir memukul angka 7.50, akupun turun ke ruang tamu berniat menyambut Dean. High-heels sudah kusiapkan, semua sudah rapi, tak ada yang terlupa. Dua detik lagi pukul delapan dan . . . tepat !!

Ah, kenapa hening? Tak ada bel pintu seperti biasa. Kulihat jam dinding sekali lagi, delapan lewat setengah menit. Alisku pun mengernyit. Kubuka pintu depan cepat-cepat, melongok keluar pagar. Sepi. Agak kecewa karena baru pertama kali seperti ini. Kuputuskan kembali masuk ke ruang tamu dan menunggu.

~~

Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Tak juga ada kabar. Mungkin sudah seratus kali kupandangi layar telpon genggamku, tak juga ada sinyal-sinyal kehidupan di sana.

Kurebahkan punggungku ke sofa. Kupandangi dinding-dinding putih yang berjajar di sampingku. Rumah besar dan hanya sendiri. Mbok yem yang sudah lama membantu di rumah ini ijin pulang kampung seminggu lalu. Aku sendiri terlahir sebagai anak tunggal sekaligus yatim piatu sejak setahun lalu. Tak ada satupun yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang di Papua saat badai termasuk ayah dan bunda.

Hening sekali keadaan malam ini. Hanya jarum jam dinding yang kudengar berdetik tak berhenti.

~~

"tilut tiluutttt"

Sedikit kaget aku terbangun. Pukul satu dini hari. Sudah tiga jam aku tertidur.

"tilut tiluutttt"

Haduh, di mana pula henponku ! Ah, ini dia, ternyata di bawah bantal sofa. Kulihat layarnya sepintas, Adin, adik perempuan Dean satu-satunya.

"Ya, halo Din??"

"Mbak, mbak Ami udah tidur ya?"

"Kenapa Din?"

"Mbak, mas Dean kecelakaan semalem. Ini di rumah sakit Hopital. Masih operasi sih."

"Mama, papa, di sana juga Din?"

"Cuma mama, mbak. Papa ngurusin ke polisi."

"O ya udah, ini aku langsung ke sana."

~~

Cukup gahar juga malam ini apalagi jalanan juga sepi, seperti mendukung lajunya Baleno tua warna hijau metalik layaknya di arena pacuan kuda. Sampai di sana, kulihat sudah ada mama, papa, dan adik perempuan Dean. Kulihat papa dan Adin sedang menenangkan mama. Kupercepat langkahku.

"Tante? Om?" kusapa lembut walau getar khawatirku tak mau juga bersembunyi dan terpias begitu saja.

Kulihat papa Dean menggeleng pelan dan menatapku, "Dean pergi, untuk selamanya."

Entah perasaan apa yang muncul sesudahnya. Semuanya begitu campur aduk. Kusandarkan punggungku pada dinding putih rumah sakit, kepalaku pening tak mampu kutahan.

~~

Pemakaman serasa amat cepat. Di tanah pekuburan yang basah oleh hujan tadi pagi, aku didekati Adin.

"Mbak, barang ini buat mbak Ami. Kata papa, kemaren ditemuin di jaketnya mas Dean. Adin, mama, sama papa pulang dulu ya mbak. Mbak masih mau di sini?"

Kuterima bungkusan kecil warna merah muda, bukan warna kesukaanku dan Dean pun tahu. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan kuucapkan terima kasih pada Adin. Memang pada keluarga Dean aku lumayan dekat, apalagi pada adik perempuannya itu. Tapi bisa dibilang juga masih sedikit menjaga jarak karena aku dan Dean memang tak pernah memiliki komitmen apapun tentang hubungan perempuan lelaki ini.

Tanah pekuburan sepi dan hening. Hanya ada aku yang malas pulang. Bersandar adalah kesukaanku. Pada pohon teduh di sisi nisan 'Andrean Kurnia bin Danu Priyo', kembali kusandarkan punggung ini sambil mengamati bungkusan kecil merah muda.

Kubuka perlahan, ada tulisan kecil : "teruntuk Ami, happy birthday yaa", hmm ... memang untukku ternyata. Sebuah kotak warna merah hati. Kubuka lagi knopnya dan kutemukan cincin manis sederhana dan sebuah tulisan, "Will you marry me, Ami? (Dean)"



--Jogjakarta, 22 Juni 2010 16:08--
--hanya sebuah kisah usang tentang cinta--

pic source = photobucket.com

kenapa kau tak berdamai dengan kesalahan itu, Ibu



Baru satu tahun aku menikahinya. Lelaki yang sedikit tertutup tentang masa lalunya. Tapi entah kenapa aku bisa menebak apapun pikiran lelaki ini. Bahkan setiap helaan nafasnya, aku selalu bisa mengartikan maknanya. Seperti menerka tangisan bayi yang selalu berbeda tiap menitnya.


Keyakinan atas pernikahan ini pun tak kutahu dapat darimana. Ibu dan kakak satu-satunya penentang pernikahanku. Hanya ayah yang hadir dalam kebijakannya mau menerima kehadiran lelaki ini pertama kali di rumah.

~~

Delapan bulan setelah pernikahan sederhana itu, aku jatuh sakit. Flek paru-paruku kambuh lagi setelah sekian lama kutinggalkan kebiasaan begadangku. Mau tak mau, aku dirawat di rumah sakit dengan catatan full bedrest.


Berbaring terus-menerus sedikit membuatku bosan. Ketika hadirnya lelaki itu sepulang kerjanya, baru aku kelihatan sumringah. Dia selalu membuatku tersenyum hanya dengan kehadirannya di ruangan rawatku.

Ibu dan kakak juga ada di sana. Karena lelakiku memang harus bekerja, jadi ibu dan kakak bergantian menungguiku. Aku tak begitu keberatan.


Seminggu berlalu, ada sesuatu yang hilang. Tak lagi setiap hari lelakiku datang menjengukku. Pun ketika menjenguk, tak kutemukan perbincangan yang kurindu. Semuanya hambar, dia terlihat letih dan ingin cepat-cepat menghentikan apapun yang kuucapkan. Lebih sering menatapku sembari menghembuskan nafas berat. Dan aku selalu memilih tersenyum dan melepasnya pulang.


~~

Satu setengah bulan lewat. Lelakiku makin jarang menjengukku di kamar. Kata dokter besok aku sudah boleh pulang. Ingin kukabari pada labuhan rinduku kabar gembira ini. Sayang, sejak masuk rumah sakit aku memang dijauhkan dari ponsel dan barang elektronik lainnya. Notebook dan I-phone milikku lenyap disembunyikan dengan alasan kesehatanku.


Kakak, "Mana suamimu? Mau pulang gini kok gak pernah datang."

Ibu, "Kamu pulang ke rumah Ibu aja kalo gitu. Nanti pulang ke rumahmu ndak ada yang ngerawat. Dah biar Ibu dan kakakmu aja yang ngerawat kamu."


Ibu dan kakak memang tinggal seatap. Dulu Ibu memaksaku tinggal bersama mereka, tapi aku tak mau. Aku selalu mengidamkan punya rumah dari keringat sendiri.


Detik kepulanganku, tak juga kutahu kabar kekasih hatiku. Akhirnya aku mengalah, aku mau dirawat di rumah Ibu dengan sedikit menggenggam kecewa.


Sudah satu minggu berselang. Ponselku pun tau-tau mati seakan tak mau kugunakan. Kupinjam milik Ibu dan kakak katanya tak ada pulsa. Mau pakai telpon rumah, katanya diputus. Rasa-rasanya komunikasi rumah ini mati begitu aku sampai di sini. Aku yang masih belum bisa ke mana-mana, akhirnya mengalah dan berdiam di kamar.


~~


Suatu sore, ada ribut-ribut di luar rumah. Aku yang baru selesai mandi langsung menghambur keluar. "Mas Tio?!!" teriakku. Kulihat Ibu sedang bertengkar hebat dengan suamiku di pagar rumah.


"Kalian ini kenapa? Gak malu apa sama tetangga kok teriak-teriak di depan rumah!" omelku sambil membukakan pagar rumah dan menggandeng Mas Tio masuk.


"Pokoknya Ibu ndak mau dia masuk rumah!!" omel Ibuku tak kalah hebat dan bergegas masuk. Kakak yang kulihat memicingkan mata ke arah suamiku juga hanya melengos dan melangkahkan kakinya mengikuti Ibu ke dalam.


"Duduk mas, di sini aja ya." begitu kataku sambil sesekali masih melirik ke arah dalam, takut Ibu keluar lagi.


Kukerlingkan mataku dan tersenyum pada sosok yang sangat kurindu sekian lama. Entah kenapa Mas Tio hanya terdiam.


"Mas curang ya, nggak ada kabar. Lama banget, ke mana aja sih?" sahutku memecahkan keheningan ini.


Mata Mas Tio berkaca-kaca, tak lama dia sesenggukan sambil merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku tau ada yang tak beres, tapi aku tak tau di mana letak ketidakberesan ini. Kulepaskan pelukannya dan kupandangi wajahnya, tersirat samar gurat kelelahan yang sangat.


"Pulanglah, , , bersamaku." kata lelakiku dalam kepayahan.


~~


Kini Ibu dan kakak ada di hadapanku. Mas Tio sendiri ada di sampingku. Kami berempat ada di ruang tamu. Saat-saat seperti ini, aku jadi rindu kehadiran ayah. Ah, ayah...sudah berapa bulan berselang ketika aku menjadi saksi tubuh kaku yang berbaring di tanah pekuburanmu yang basah. Ayah yang hadir dengan kebijakannya selalu menegarkanku tak boleh menangis di kondisi paling rumit milik kehidupan ini.


"Kau mau pulang?" pecah Ibu dengan dinginnya mengawali perbincangan alot sore ini. Aku sendiri hanya mengangguk mantap.


"Kau mau pulang dengan lelaki yang bahkan tak pernah ada di sampingmu waktu sakit!!" sentak kakakku yang membuatku sedikit kaget. Cepat-cepat kukuasai emosi dan situasi ini. Kembali aku mengangguk mantap.


"Mana yang kau pilih? Ibu atau dia!" dingin yang Ibu pancarkan seperti kilat tersambar di langit biru petang.


Kuhirup udara perlahan, barangkali ada energi terseok di dalamnya untukku, "Aku pilih Tuhan, Bu..."


"Kurang ajar bawa-bawa nama Tuhan di sini. Kau ini anak durhaka yaa. Tak mau memilih ibumu sendiri!" dengan kasarnya kakak memutus penjelasanku.


"Aku harus menuruti kemauan suamiku, tapi aku juga tak boleh menyakiti Ibu dan saudaraku. Begitu agama menjelaskannya padaku. Dan aku memilih Tuhan, karena hanya Dia yang membimbingku. Jika pada akhirnya aku dibimbing menuju kalian, aku pasti akan datang pada kalian." potongku tegas.


Kulihat Ibu yang menahan amarah dengan dada naik turun. Kakak hanya terdiam, mungkin tak tau berkata apa. Kulirik ke arah lelakiku, "Katakanlah sesuatu, Mas."


Mas Tio memandangku sepintas dan kembali ke sorot tajam Ibu pada kami berdua, "Aku akan menjaga perempuan ini. Dia, putri Ibu dan adik tercinta, Tiara yang terkasih."


"Kauu..!! ANAK DURHAKA!! Tak usah pulang kemari lagi sampai kapanpun!!" teriak Ibu sambil berlari ke arah kamar. Kulihat kakak menyusul.


Entah ini drama atau benar kejadian nyata. Kuhempaskan tubuhku ke sofa. Genggaman tangan lelakiku tak berasa apa-apa.


Sejenak kemudian aku berdiri, kulepas genggaman itu perlahan sambil tersenyum, "Sebentar yah."


Lalu kuketuk satu-satunya pintu di kamar lantai satu ini. Kakak yang membuka, "Mau apa?!"


Kutantang nyalat matanya, "Anak durhaka mau bertemu Ibunya. Hanya ber-du-a." begitu tegasku.


Kakak pun membuka pintu kamar lebih lebar dan keluar. Kubisikkan sekilas saat dia tepat ada di sampingku, "Jangan ganggu suamiku lagi."


~~


Pintu kamar sengaja tak kututup. Aku duduk di hadapan Ibu yang menangis sambil memeluk selimut.


"Ibu, maukah Ibu mendengarkan anak durhaka ini barangkali?" tanyaku lembut.


Ibu hanya terdiam dan meredakan tangisnya. Kuhapus air matanya yang menetes di pipi keriputnya.


"Aku selalu sayang Ibu." kubisikkan kata-kata itu sambil kubenahi rambutnya yang kusut.


"Apa salah Ibu!! Kenapa kau mau menikahi lelaki seperti itu? Apa salah Ibu, naak!!" kembali Ibu sesak dalam tangisnya.


"Kenapa tak berdamai saja dengan kesalahan itu, Ibu? Menerima kenyataan terlewat dan biarkan kekuatan tersisa menggiringmu bangkit dari sini, kekecewaan." sahutku perlahan lalu kukecup guratan-guratan menua di kening milik Ibu.


"Mana bisa Ibu menerima ini semua? Kembalilah pada Ibu, nak. Jangan jadi anak durhaka untuk Ibu." bujuk Ibu yang hanya kujawab dengan sebuah gelengan.


"Walau aku durhaka, aku masih mencintai Ibu. Begitu juga kupastikan cucu-cicitmu nanti. Tak boleh satupun yang membenci neneknya yang masih cantik ini." sembari kulancarkan senyum khasku yang selalu berhias lesung pipit di kedua ujungnya dan kini kukecup hidungnya yang merah karena kebanyakan tangis.


Setelah kupandangi wajah milik Ibu, aku pun berdiri dan menuju ke pintu kamar. Sebentar aku berbalik dan kukatakan lirih, "Bu, aku akan kembali. Saat Ibu mau menerima kami berdua."


~~


Kembali ke rumah milik kami, aku dan lelakiku saja. Kumasuki halaman yang kurindu. Kujelajahi setiap lukisan yang terpajang di dinding perak. Kubalikkan tubuhku dan kuberikan senyuman pada satu-satunya lelaki di ruangan ini, "Aku rindu. Sungguh rindu."


"Dan akupun tak mungkin bahagia, walau telah menculik tuan puteri istimewa dari kerajaan ternama."


"Kamu harus cerita apa saja yang terjadi selama kamu menghilang, Mas. Tak boleh satupun terlewat."


"Aku lelah, honey. Besok saja?"


Dan aku pun tersenyum.


~~


Satu episode yang terlewat di langit senja rumah sakit:


Kakak, "Kesempatan ini tak boleh terlewat, Ibu. Ibu bisa membawanya pulang dan memisahkannya dengan lelaki rendahan itu."


Ibu, "Ya, Ibu juga berpikir begitu. Sudah seminggu ini Tiara dirawat. Kalau kita bisa membatasi akses lelaki rendahan itu untuk menjenguk Tiara. Makin lama makin tak bisa, dan akhirnya Tiara sendiri yang menyerah?"


Kakak, "Dan Tiara harus berpikir bahwa lelaki itu sudah tak sudi lagi menemuinya."


Ibu, "Lalu Tiara bercerai dari lelaki itu. Dan kita ke Belanda seperti rencana semula. Tinggal di sana dan biarkan bisnis di sini dikelola suamimu."


Kakak, "Hilanglah sudah satu rintangan mengawinkan Tiara dengan pebisnis Belanda kaya raya itu."


Ibu, "Harusnya Tiara tak pernah bertemu lelaki dari kasta rendahan seperti dia."


Kakak, "Lelaki itu mesin uang semata, Ibu."


Ibu dan kakak pun mengakhiri sore itu dengan tertawa terbahak kemudian terdiam mengamati sekitar dan tertawa lagi kemudian.






--Jogjakarta, 19 Juni 2010 17:49--
--tak pernah kuharapkan aku dilahirkan di keluarga mana sekaya apa dan sehormat apa, tapi aku selalu berharap aku mampu mensyukuri sebagian nikmat yang dilekatkan padaku bahkan sejak sebelum aku menangis di bumi. Bukan harta, martabat, dan kerabat yang akan kubawa mati...melainkan 3 hal yang selalu dibisikkan padaku. Sedekahku, ilmuku yang bermanfaat, dan doa anak-anakku yang shaleh.--

Let me be your hard, hurt, and heart ever after



Kukemas netbook milikku. Kuseret tubuhku dari perpustakaan besar ini. Aku sudah terlalu penat untuk mengerjakan separuh pekerjaan yang membutuhkan studi pustaka. Pekerjaanku memang freelance di beberapa perusahaan, tepatnya sebagai asisten. Bosku yang umurnya masih 40 taunan itu mengajakku bergabung. Kalau ditotal hanya ada 5 orang karyawan di bawah naungan bos.

Aneh memang, sudah bergabung 1,5 taun masih saja mengerjakan proyek dengan beberapa contoh kasus yang kuambil di perpustakaan favoritku itu. Almamaterku ini memang memberi hak khusus para alumninya untuk mengakses penuh isi perpustakaan. Walau begitu, bosku tak pernah complain dengan hasil yang kusetorkan. Malah dibilang puas karena biasanya aku berikan beberapa advice yang berasal dari beberapa informasi terkini yang sangat berguna bagi perusahaan yang bersangkutan.

Harusnya tepat pukul 3 siang ini aku bersama bos, mempresentasikan hasil proyek yang berkaitan dengan lingkungan perusahaan yang menggunakan jasa kami. Tapi pesan singkat bos yang masuk ke hapeku pukul 1 siang tadi akhirnya menunda langkahku ke sana. Meeting kami dibatalkan ternyata.

Setelah keluar dari perpustakaan, begitu melihat langit yang mendung, rasanya malas pulang ke kontrakan. Ingin kulepaskan penatku akibat membaca 3 textbook tebal mengenai finansial perusahaan. Kuputuskan pakai taksi saja di ujung jalan sana.

"Norbess cafe, Pak."

~~

Sampai di sana, masih sepi saja rupanya walau cafe sudah buka sejak pukul 11 tadi. Tapi aku selalu menyukai tempat yang sepi. Nyaman dan tenang rasanya menjadi diri sendiri tanpa harus mengeluarkan karakter dan mempertahankan ideologi saat berbincang.

Kupesan hot chocolate mocha dan banana pizzarela kesukaanku. Bayangkan saja pizza bertopping pisang yang sungguh manis dan keju mozzarella tak lupa kehadiran ice cream vanilla di atasnya. Yummi, sekali mencoba jadi ketagihan.

Kukeluarkan netbook tercinta meneruskan browsing mengenai harga saham terbaru dan beberapa berita ekonomi nasional. Kusimpan beberapa artikel untuk dibaca nanti di kamar. Rasanya begitu asyik menikmati suguhan grafik yang naik turun seirama menit. Alih-alih berharap rupiah menguat agar beberapa proyekku nanti lancar tanpa hambatan.

Pesananku datang bersama seorang lelaki tampan. Sayangnya dia amat muda.

"Selamat menikmati." begitu sapa lembutnya.

"Terima kasih." senyumku pun hadir seiring dia berbalik pergi melayani tamu yang lain.

Bau yang tercium dari banana pizzarela milikku ini sungguh menggelitik hidung. Kualihkan pandanganku sebentar ke arah jendela. Sudah hujan deras ternyata. Walau di tempat dudukku tak bakal basah, tapi aku memilih menikmati hujan dengan menyeruput hot chocolate mocha. Kuamati rintik yang terkadang menipis melalui jendela besar sedikit gelap itu. Kulihat ada seseorang di ujung jendela sana mengamatiku atau mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif pada lingkungan. Bau harum pisang yang masih hangat kembali menarik monyong bibirku untuk melirik nakal pada pizzarela. Kulihat dengan sorot penasaran, sosok yang mengamatiku tadi tertawa sepertinya melihat tingkahku. Ahh, apakah aku salah duga? Tak ambil pusing langsung kuambil garpu dan pisau di samping. Aku lebih peduli pada perut gemerucukku.

Baru separuh kuhabiskan, aku kembali pada netbook. Kebiasaanku memang tak langsung menghabiskan makanan kalau sedang begini. Kukeluarkan rokok dari dalam tas dan kunyalakan satu batang. Kulirik sosok berkemeja merah muda tadi, agaknya ekspresinya kali ini mencerminkan tak kesukaannya bercampur kaget melihat seorang wanita muda merokok di depannya. Aku kembali tak ambil pusing, toh aku tak mengganggu siapapun di meja ini. Pun meja yang kupilih memang untuk smoking area.

Kali ini kukeluarkan buku finansial publik yang tadi kupinjam. Kubuka beberapa lembar dan kucatat dalam notesku. Aku masih menyukai ritual ini padahal sudah bertahun-tahun lalu kutanggalkan status kemahasiswaanku. Sesekali kusandarkan pundakku yang rasanya sedikit pegal dan tak lupa kucomot perlahan pizzarela yang masih menggoda.

"Boleh mengganggu?"

Aku terkejut sapaan barusan. Sosok lelaki berkemeja merah muda tadi kini di hadapanku dan menyapa.
"Ah, maaf ?? Kita pernah bertemu ?"

Sosok tadi malah membalas hangat dengan sebuah senyuman
"Ya, tadi. Sesaat setelah hujan turun. Pandangan anda bertemu dengan saya. Boleh kita berkenalan ?"

Aku yang masih saja terkaget berusaha keras menguasai emosiku sendiri. Jarang-jarang aku mau berkenalan di tempat umum, tapi agaknya pada lelaki ini aku kecualikan.
"Boleh. Anda siapa?"

"Panggil Tommy saja. Anda ?"

"Sarah."

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya.

"Ah, silahkan."

"Kalau begitu saya ambil barang saya dulu di sana." senyum manisnya masih saja muncul di lekuk bibirnya. Hah, Sarah. Apa yang kau lakukan?

Aku kembali mengamatinya di ujung meja sana. Dia hanya mengambil jas dan secangkir gelas miliknya. Dari aromanya yang mendekat aku tau itu kopi robusta, tapi aku tak tahu dia pesan campuran yang mana. Masih sambil tersenyum dia pun duduk di depanku. Kusingkirkan beberapa barang-barangku di meja, tapi dia mencegahku.

"Tak apa-apa. Biarkan saja."
"Em, kuperhatikan tadi kau sedang asyik dengan buku dan netbookmu."

"Ah ya. Aku sedang mengumpulkan beberapa berita tentang ekonomi dan finansial negeri ini."

"Kau penulis berita?" tanyanya lugas.

"Hahhaa. Memangnya aku terlihat seperti itu?" tanyaku kembali padanya.

Sambil mengernyitkan mata agaknya dia sedang berpikir sebentar, "Tidak, aku rasa. Tapi bisa jadi bukan?"

"Ya, kau benar. Aku hanya penikmat berita."

Obrolan kami pun berlanjut pada sekitar berita tanah air. Awal mulanya cuma ekonomi, lama-lama bahasan meluas sampai ke politik bahkan kebudayaan.

Lelaki berkemeja merah muda ini ternyata bekerja di sebuah perusahaan yang akan kudatangi pukul 3 siang ini kalau saja meeting itu tidak dibatalkan. Begitu kutanya apa bidangnya, agak kecewa karena dia hanya bilang masih penempatan dan training. Bebas sekali pikirku, jam segini masih kelayapan di luar dan santai-santai di cafe. Tapi aku kembali tak ambil pusing karena memang bukan urusanku.

"Kau tadi merokok ya?"

"Hmm, ya. Kau memperhatikan?" basa-basi benar aku ini.

"Enak tidak??" aku hanya melongo ketika dia menanyakan ini.

"Hmm, enak sih tidak. Aku merokok hanya untuk melepas penat. Kubiarkan penat itu melayang di udara bersama asap tembakau ini. Kau sendiri merokok?" tanyaku.

Dia hanya menggeleng, tapi kukejar sampai akhir, "Pernah merokok ?"

Dia kembali menggeleng dan aku pun tertegun, "Kenapa? Kau tak pernah mencoba merokok, Tom?"

"Aku tak suka, dulu ibuku perokok." singkatnya dan aku pun tak berusaha mengejar jawaban lagi, kulihat dia jengah dengan percakapan ini.

"Ah, hujan sudah reda, Ndra. Aku balik ke kantor dulu ya." aku mengangguk.

Dia pun menghilang di balik gerimis dan aku kembali sibuk pada grafik saham yang masih naik turun seiring menit.

~~

Beberapa hari setelahnya, aku kembali ke Norbess Cafe. Bosan aku di rumah menghadap ribuan data yang harus kuolah. Tak lupa kumasukkan rokok kesayanganku dan dompet ke dalam tas. Kuambil kunci Honda Jazz putih dan kunci rumah.

Sampai di sana masih saja sepi. Bisa jadi karena hujan atau memang orang-orang masih belum berniat pergi kemari pukul 4 sore ini. Aku pun memilih duduk di pinggir jendela. Setelah memesan menu kesukaan, kukeluarkan rokokku dan kunyalakan sebatang.

"Tidak bergumul dengan berita?" sentuhan di pundakku itu membuatku kaget.

"Tommy ??" yang disapa hanya nyengir kuda.
"Pulang kantor, Tom?" dia pun duduk di depanku tanpa permisi.

"Hmm, ya. Begitulah. Sudah pesan?" dan aku pun mengangguk sejurus kemudian dia memanggil pelayan dan memesan secangkir romeo coffelate, setahuku campuran kopi robusta dan susu juga sedikit krim.

Perbincangan kali ini pun sampai malam. Sampai kami diusir secara halus oleh pemilik cafe dengan mematikan lampu dan sound ruangan.

Tak kusangka Tommy mengajakku berkeliling kota sebelum berpisah. Kutitipkan mobilku di parkiran terdekat dan masuk ke mobil Tommy. Sedikit aneh bagiku karena benar-benar baru sekali ini, aku mau-maunya keluar bersama orang yang baru kukenal 2 kali. Tapi entah rasa nyaman dan aman itu menutupi seluruh rasa anehku pada kejadian ini.

~~

"Sandrooo, nanti kau sama Pirman ya temani aku meeting yang ditunda pekan lalu." hih, bosku memang suka mengganti-ganti nama orang.

Siang ini aku memang pergi ke kantor yang bersambung jadi satu dengan rumah si bos. Ruangan sederhana milik kami berlima, hanya tempat singgah berkas-berkas milik beberapa perusahaan bercampur berkas presentasi kami.

"Jam brapa boszhi?" saking sebalnya nama bos pun kuganti boszhi padahal aku sendiri tak tau artinya, tapi biarlah.

"Habis ini, kau siap-siap yaa."

"Ah, pak bos memang suka mendadak." gerutuku.

"Hahhaaaha, kau ini masih muda nak. Terbiasalah dengan yang tua ini. Oh ya, kau yang setir ya, sudah tua nih. Ndak kuat jantungku kalo naek Pirman, nyetirnya kayak orang mabok." aihh, enaknya dia melantur.

~~

Sesampai di perusahaan, kami diminta menunggu sebentar. Kantor yang minimalis tapi asri. Aku suka suasananya. Apalagi kebanyakan dinding terbuat dari kaca, membuat sinar matahari yang nyalat itu masuk. Hangat rasanya. Lukisan-lukisan yang menghias beberapa dinding pun juga tak kalah menyambut kami yang masih saja menunggu sekretaris perusahaan mempersilahkan kami masuk ke ruang meeting.

Tak lama kemudian, kami diantarkan ke lantai 2 dan masuk ke sebuah ruangan berpintu merah. Sampai di dalam agaknya kagetku tak berhenti. Di dalam sana tentu saja ada Tommy. Memang Tommy pernah bercerita di awal pertemuan kami kalau dia bekerja di sini. Tapi aku yakin, kursi yang diduduki Tommy tak lain adalah kursi direktur utama.

Sekretaris perusahaan pun mengenalkan pada kami bertiga.

"Ini bapak Tommy Soetjokro, direktur utama kami. Beliau baru diangkat minggu lalu atas keinginan dirut sebelumnya. Karena itu kemaren rapat mendadak cancel. Kemudian bapak-bapak di hadapan anda ini adalah dewan direksi kami."

Sepertinya kisah ini akan semakin panjang. Tertundukku selintas melihat cincin emas putih yang melingkar di salah satu jari manisku. Tadi malam Tommy melamarku dengan syarat kutinggalkan hembusan asap rokokku dan menggantikannya dengan satu hal yang akan dia berikan saat perkenalannya dengan keluargaku nanti. Keanehan ini masih berlanjut dan menjadi misteri bagiku karena tadi malam tak tau energi dari mana, kuanggukkan mantap, "Let me be your hard, hurt, and heart ever after."



ps. Life is a maze and love is riddle, and why?

Aku tak ingin Anakku terlahir Perempuan



"Sudah berapa lama, No?"

"4 bulan."

"Kau yakin dia ayahnya?"

"Hmm, cuma dia Pi." sahutku melemas.

~~

Lamunku melayang ke beberapa bulan lalu. Ketika bertemu sosok yang sangat teduh. Rafi yang lembut dan selalu menjadi guru favorit di antara anak-anak didiknya di bimbingan belajar depan tempat kerjaku. Bimbel itu sendiri baru berdiri, namanya masih asing di telingaku. Atau mungkin karna aku sendiri anak rantau baru di kota ini, jadi aku tak tahu-menahu tentang seluk beluk dunia kerjanya itu.

Kami pun berkenalan pertama kali di warteg dekat tempat kerja. Keadaan warteg yang memang penuh, menjadikan dia kelimpungan mencari tempat duduk. Aku sendiri duduk berdua dengan temanku dan dia datang ke meja kami, sejurus kemudian bertanya apakah dia boleh duduk di meja kami.

Dia sebutkan namanya dan bercerita tentang kerjaannya. Umurnya sendiri masih muda, sekitar 26 taun mungkin. Setelah menghabiskan makan siang, kami pun berbincang sebentar dan akhirnya memutuskan kembali ke kerjaan.

Pertemuan kedua, warteg memang tidak penuh. Aku memilih makan di ujung ruangan sendiri. Tak tahunya Rafi tiba-tiba menyapaku dan mau tak mau kami pun jadi makan berdua. Setelah selesai, Rafi menawarkan bertukar nomor telepon genggam.

~~

Baru saja sampai di depan meja kerjaku, ada sms masuk.

"Cuma ngecek, nomer yang kau berikan ini punyamu atau ayahmu. :D"

Langsung kubalas saja

"Jangan macam-macam sama anak saya ya :p"

Tak berapa lama, Rafi juga membalas

"Cuma disenggol dikit kok, Om. Boleh tidak?"

Aku yang iseng karena beberapa teman kerja memang belum kembali ke kantor, masih saja mencoba membalas

"Apanya yang mau disenggol ?"

Agak lama dia tak membalas. Hampir saja kumasukkan hapeku ke tas sebelum getar telepon itu membuat mataku sedikit mengernyit

"Halo, Rafi??"

"Emm,,, " suaranya sedikit tertahan.
"Kalau boleh sih disenggol hatinya. Hehhee."

"Emm, Eno, udah dulu ya. Aku harus masuk nih, anak-anak udah pada nunggu. Nanti malem terusin lagi yaa." telepon pun ditutup.

Aku pun dibuat bengong setelahnya. Baru juga bertemu dua kali, masa mau bermain hati, begitu pikirku. Jadinya kuanggap angin lalu. Tak tahunya setelah kejadian itu, kami malah semakin sering bertelepon. Makan siang juga lebih sering berdua. Sampai suatu hari, dia utarakan mau main ke kosku.

Semakin hari kami pun semakin mesra. Tapi tak pernah terbersit di perbincangan kami tentang komitmen ataupun status pacaran. Lucunya, kami sudah punya panggilan sayang dan sering bilang suka. Akhir minggu, beberapa kali kami habiskan pergi ke luar kota berdua. Hanya sekedar ke tempat-tempat wisata dan berfoto narsis sana-sini. Tak terasa sudah dua bulan kami bersama.

Suatu hari di akhir minggu, Rafi mengajakku main ke kontrakannya. Sampai di sana ternyata sepi. Rafi baru bilang kalau teman-teman satu kontrakan yang jumlahnya cuma 3 orang itu sering nongkrong di luar sampai dini hari. Kutengok jam tanganku, pukul tujuh. Kuajak Rafi makan malam di luar, tapi dia menolak. Dia bilang mau makanan yang dimasak olehku. Akhirnya aku mengalah, aku memasak dengan bahan-bahan yang ada di sana.

Memang romantis. Kami serasa sudah hidup satu rumah saja. Rafi sangat perhatian apalagi ketika tanganku kecipratan minyak panas. Dia langsung menghamburkan punggung tanganku ke air dingin. Begitu juga ketika makan, Rafi menyuapiku.

Setelah makan, kami nonton tivi di ruang tengah. Dia belai lembut rambutku. Aku pun tak mau kalah bermanja padanya. Kusandarkan kepalaku ke dadanya sambil menggenggam tangannya. Tak kusangka, Rafi berbisik padaku.

"Eno, aku mau kamu malam ini."

Aku yang sudah 22 tahun ini tentu sudah tau apa maksudnya. Kulihat Rafi lama. Ingin kulancarkan aksi protes. Tapi sebelum kuutarakan satu kata, tau-tau Rafi sudah mengecup bibirku. Awalnya lembut, tapi makin lama aku sendiri kelabakan. Kudorong tubuhnya menjauh.

"Raf, aku belum siap." begitu hardikku.

"Eno, cintakah kau padaku selama ini? Kau tak mau buktikan cinta dan tulusmu? Aku mau buktikan padamu. Aku ini tulus dan cinta kamu Eno."

"Kalau aku sampai hamil?" potongku.

"Aku akan jadi ayah anakmu. Dan kau akan jadi ibu anakku, sayang." kemudian dia kecup jemariku.
"Bagaimana?"

Akhirnya aku pun mengalah. Dan kami menghabiskan malam syahdu itu berdua saja di kontrakan.

~~

"Kau ini kenapa bisa sih??"

"Aku tak tahu, Pi."

Arpi adalah teman kantorku yang bertemu dengan Rafi saat kami di warteg dulu. Dia juga sahabat terbaikku sampai saat ini.

"Udah cek ke bimbelnya?"

Aku pun mengangguk lemas, "Kata orang sana, dia tiba-tiba mengundurkan diri dan tak pernah muncul lagi sejak 2 minggu lalu. Nomernya juga tidak bisa dihubungi. Datanya yang ada di bimbel juga tidak bisa diakses. Buntu, Pi."

"Keluarganya? Teman kontrakannya?"

Kini aku menggeleng, "Nihil. Aku tak pernah bertemu satu pun keluarganya, seingatku dia juga tidak pernah cerita tentang keluarganya. Teman kontrakannya juga tidak tahu apa-apa."

"Aduh, Enoooo !!! Awas ya lelaki itu kalau ketemu !!" sepertinya Arpi juga sedikit mangkel.

"Satu-satunya yang ditinggal ya alamat ini, Pi."

"Kau mau ke sana??" tanya Arpi.

Aku cuma mengangguk.

~~

Setelah mengepak barang seadanya, aku dibantu Arpi ke terminal. Dia melepasku dengan ketidaktegaan. Maunya Arpi juga ikut, tapi kerjaan di kantor sedang menumpuk. Kerjaanku sendiri juga diambil alih olehnya.

"Kutunggu kabar baik ya, Eno. Kau harus tegas sama lelaki itu. Kalau ada apa-apa di sana, pokoknya hubungi aku. Nanti kalau sudah sampai di sana, jangan lupa hubungi Aren juga. Biar dia yang mengantarmu ke mana-mana."

Aren adalah adik lelaki Arpi. Untungnya kota yang kutuju ini, aku tak bakal kelimpungan mencari alamat sendirian. Aren sudah lama tinggal dan bekerja di Malang.

Enam jam membuat tubuhku sedikit pegal di sana-sini. Tapi pegal itu hilang ketika aku sudah melihat tugu selamat datang. Memang masih agak lama sampai ke terminal, tapi paling tidak aku sebaiknya menghubungi Aren.

Dijemput aku oleh Aren dan diantarkan ke kontrakannya yang sederhana. Katanya, Aren tinggal sendiri. Dia menyuruhku untuk istirahat hari ini dan mencari alamatnya besok saja. Setelah meminta alamatnya padaku, Aren menghilang sampai pagi. Dia hanya meninggalkan makan malam dan sepucuk pesan 'selamat istirahat' di meja makan.

~~

Esok paginya, Aren bilang sudah tahu daerah yang dituju. Tapi belum yakin yang mana alamat pastinya. Aku pun diantarkan ke sana. Rafi, semoga kau ada di sana.

Setelah berputar-putar agak lama, akhirnya kami menemukan sebuah rumah kecil. Persis seperti di alamat. Tapi rasanya mataku tak salah tangkap, rumah itu kosong. Akhirnya kami bertanya ke tetangga kanan kiri, siapa sebenarnya pemilik rumah ini dan di mana Rafi.

Hampir setiap tetangga yang kutemui bilang kalau si pemilik rumah sudah pindah setelah menikah. Begitu kutanya tentang Rafi, tidak ada yang tahu. Si pemilik rumah bernama Axcel. Berkali-kali kutanya pada beberapa tetangga, akhirnya kudapatkan alamat baru Axcel. Kami pun ke sana esok harinya karna tubuhku sendiri sudah lemas bukan kepalang. Aku kembali mual sejak pagi.

Agak sore kami berangkat karna Aren seharian harus menyelesaikan kerjaannya dulu. Alamat itu mudah sekali ditemukan. Yang tak kusangka, aku menemukan Rafi sedang berjalan ke sebuah rumah. Rumah yang memang sedang kutuju. Dia sapa beberapa tetangga yang dilaluinya. Kemudian seorang perempuan manis keluar dari rumah itu. Mereka menghambur berpelukan dan mengecup pipi selintas.

Aku sedikit bimbang. Sepertinya itu memang rumahnya, sepertinya Axcel adalah Rafi dan Rafi adalah Axcel. Dalam kebimbangan, kulihat Rafi keluar dari rumah sambil menggendong seorang anak berumur satu tahunan. Menyusul kemudian perempuan manis itu. Terlihat Rafi bermain-main dengan anak itu dengan riangnya, tak lupa sesekali dia kecup perempuan itu.

Mataku panas, air mataku menetes satu-satu. Aren menyentuh pundakku ragu.

"Mau ke sana mbak?"

Setelah kuredakan emosiku, kukatakan pada Aren untuk menunggu di ujung jalan saja tempat sedari tadi kami berhenti. Lalu, kulangkahkan kakiku perlahan ke arah rumah itu. Kuambil nafas berat sebelum aku berhenti tepat di depan rumahnya.

Kuputuskan untuk membunyikan bel, walau kutahu mereka sebenarnya ada di halaman rumah. Begitu pagar dibuka, Rafi kaget bukan kepalang.

"E...Eno ??"

Dengan intonasi yang kubuat sebaik mungkin, memang tak bisa kupungkiri bahwa marahku sebenarnya mau meledak

"Raf ... kau memang ayah anakku. Aku juga ibu anakmu. Tapi aku tak pernah berharap anakku terlahir perempuan.."

sedikit kutahan emosiku, ".. Biar dia tak perlu mencari-cari walinya saat dia menikah nanti. Biar dia tak pernah kenal ayahnya. Anakku yang sedang kukandung ini, , ,anakmu Raf."

Kemudian aku berbalik dan berjalan mantap. Kudengar perkelahian di belakangku dan Rafi memanggilku berkali-kali. Tapi aku memilih . . . pergi.

"Sudah mba?" tanya Aren sewaktu kudekati.

"Sudah, Ren. Ayo kita pulang. Urusan sudah selesai." anggukku mantap.



ps. Cerita ini terinspirasi oleh kisah yang dituturkan salah seorang pendengar saat aku masih menjadi admin blog sebuag radio di Jogja. Cerita ini memang fiktif, tapi terinspirasi oleh sebuah kisah nyata.

photo source : photobucket.com

Lelaki pecinta hujan



Nafasku sedikit terisak sebelum memasuki ruangan itu. Rasanya untuk menarik sebuah hirupan membutuhkan tenaga yang begitu besar. Aku tak begitu sanggup melihatnya dalam puncak fase hidupnya di dunia.

Kulihat lelaki ini tampak sangat tenang. Nafasnya sangat teratur, tekanan darahnya baik, suhu tubuhnya pun normal. Kuambil handuk kecil di sampingnya. Sedikit aku basahi dengan air hangat yang sudah mulai dingin karena suhu ruangan kamar VVIP ini. Kuseka dahinya perlahan walau sebenarnya tak ada keringat kepayahan di sana.

"Dey, aku mencintaimu. Tunggu aku di surga nanti yaa." begitu gumamku sambil sesekali kubelai dahi khasnya yang semakin lebar karena dicukur habis oleh perawat di sana.

Sudah dua bulan, lelaki yang kupanggil dengan sebutan kesayangan 'Dey', terbujur kaku tanpa daya. Tiga kali operasi pun tak sanggup membangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Dey kecelakaan dan terbentur di bagian otaknya. Harapan terakhir kami pun kandas ketika dokter menyatakan bahwa batang otak Dey sudah tak berfungsi lagi meskipun jantungnya masih saja berdegup.

Ya, Dey telah mati sebenarnya. Tapi aku sebagai satu-satunya wanita yang teraku sebagai istri syahnya masih saja ragu menandatangani surat kuasa dan pertanggungjawaban untuk mencabut seluruh peralatan yang menempel di tubuhnya, sebab utama Dey masih saja bisa bernafas hingga detik ini.

Setelah menggosok tangannya yang mulai sedikit keriput dengan handuk basah, aku pun mengecup pipi, dahi, hidung, dan terakhir bibirnya. Rutinitas kami berdua ketika masih menjadi pengantin baru dulu. Ah, Dey, aku rindu kecupanmu yang lembut.

Gontai kemudian kulangkahkan kaki ke ruang dokter yang bertanggung jawab untuk kasus Dey. Perawatnya yang menyambutku. Setelah menunggu sebentar aku masuk ke dalam. Sedikit muak ketika melihat berbagai kertas telah berhambur di sisi meja. Kertas itu yang masih menahan hidup Dey saat ini.

"Sudah yakin, bu?" sapaan dokter membuatku terkaget dari lamunku tadi.

"Entah, dok. Tapi ini yang sebaiknya saya lakukan bukan? Aku rasa Dey juga menginginkannya. Sepertinya kulihat Dey tersenyum dok, sekilas tadi."

"Lalu mengenai donor organ, bu?"

"Bisa tolong jelaskan sekali lagi, dok?"

"Ibu yakin??" dan aku pun hanya bisa mengangguk.
"Ada beberapa prosedur dalam berbagai kasus. Tapi untuk kasus kali ini, suami ibu memang memiliki kartu donor sejak muda. Tapi kami menawarkan untuk organ yang lain karena memang ada kasus atas kesepakatan keluarga. Untuk donor mata, kami telah menghubungi pusat. Sudah dilakukan prosedur untuk administrasi dan mereka siap menjemput kapan saja. Sedangkan saat ini kami menawarkan pendonoran untuk organ ginjal, jantung, dan hati. Karena memang masih sangat baik kondisinya saat operasi terakhir. Bagaimana bu?"

"Untuk kebaikan siapapun yang menerima donor itu, dok. Sebaiknya memang begitu."

"Ibu yakin??" aku kembali mengangguk dan kulihat dokter sedang berbincang pelan dengan perawatnya.

"Jika ibu yakin, lusa adalah operasi terakhir. Kami memerlukan administrasi dan persetujuan ibu sebagai kuasa dari pihak keluarga. Dan satu-satunya keluarga yang dimiliki beliau hanyalah ibu seorang, apakah ibu siap?"

Yah, benar. Suamiku anak tunggal dari orang tua yang tunggal juga. Yang kutahu sudah tak ada lagi yang bisa diakui sebagai keluarga. Hanya aku istrinya saat ini, satu-satunya keluarga yang memutuskan hari kematiannya nanti.

Sejenak kemudian, aku diantar ke sebuah ruangan yang sedikit luas. Di sana sudah berjajar beberapa orang berjas putih. Salah seorang mengenalkan sebagai kepala tim dokter yang akan mengurus operasi donor total ini. Kemudian berkas-berkas itu kembali terpapar di depanku. Sedikit gugup kutandatangani satu-persatu setelah penjelasan sedikit rinci tentang beberapa donor ini.

Setelah selesai, aku kembali ke ruangan tempat Dey masih tertidur lelap. Aku genggam jemarinya lembut dan kutempelkan ke pipiku. Air mata yang hangat mengalir sampai ke jemarinya yang keriput. Aku ciumi perlahan dan membisikkan puisi tentang hujan yang selalu Dey sukai.

~~

Pemakaman Dey bertabur hujan. Dey memang lelaki pecinta hujan. Bahkan kami berkenalan ketika hujan turun di halte depan kantorku. Rupanya dia selalu memperhatikanku sejak sekian lama dan saat hujan turun itulah entah keberanian dari mana, Dey meminta nomer telepon genggamku. Tak ada yang istimewa dari Dey, kecuali dia selalu muncul di kala hujan.

Perkenalan pertamanya dengan keluargaku pun juga di saat hujan. Bajunya basah kuyup sampai di rumah. Ibu menyambutnya dengan handuk, ayah menyambutnya dengan rokok untuk menghangatkan diri, dan aku membuatkan teh panas untuk kami berempat. Dey yang akhirnya memakai kaos ayah pun terlihat begitu tampan dan mempesona. Tawanya yang renyah dan wawasannya yang luas membuat ayah dan ibu berani melepasku ketika Dey meminangku.  Tujuh tahun, Dey. Aku hidup bersamamu hingga detik yang lalu. Hanya kita berdua tanpa buah hati yang selalu kita tunggu.

Saat masih mengagumi gundukan tanah basah bertabur mawar putih, terkaget aku ketika pundakku disentuh.

"Rama? Kau datang?"

"Ayo, pulang. Sudah setengah jam kau berdiri di sini. Pelayat terakhir sudah pergi." dan aku pun kembali hanya mengangguk.

~~

"Bukankah kau di Borneo? Maaf, aku tak mengabarimu kemarin." sambil kuletakkan mug berisi teh panas di meja tamu.

"Ya, harusnya begitu. Tapi entah, perasaanku bilang aku harus kembali ke sini. Tak tahunya Dey.." Rama tak menyelesaikan kalimatnya.

Aku pun hanya tersenyum kemudian mengisahkan bagaimana Dey menghembuskan nafas terakhirnya karena kecelakaan dengan truk yang tergelincir licin di jalan tol ketika hujan. Dey memang tidak luka secara fisik, tapi gegar otak parah sampai terakhir dokter mengabarkan tentang kematian batang otaknya.

Setelah aku menghabiskan tissue yang begitu banyak dan kuletakkan begitu saja di meja. Kami berdua hanya terdiam sekian lama sampai Rama mengawali pembicaraan,

"Ratih, sebenarnya aku datang ke sini karena ingin menghajar Dey." Rama terlihat menggantungkan kalimat menunggu reaksiku.

"Dia mengirimkan surat ini, seminggu yang lalu baru aku terima karena aku sibuk tugas keluar kota. Itupun karena surat itu masuk ke kantor bukannya ke rumah." Rama mengulurkan padaku sepucuk surat biru muda.

Aku sendiri hanya memandangi surat itu lama sampai Rama menyuruhku membukanya, "Bukalah, Ratih."


"Untuk sahabatku yang tangguh,
Rama di tempat.

Bagaimana kabar pengusaha sukses ini di Kalimantan sana? Aku yakin kau ini masih saja sibuk membujang. Apa kau masih marah padaku??

Aku tahu, aku sepertinya memang menanggung salah padamu gara-gara peristiwa itu. Jujur saja, aku lebih suka jika kita bertengkar ala anak kecil. Kau menghajarku hingga babak belur sampai puas. Nyatanya, kau lebih memilih diam dan pergi.

Aku sudah lama tahu bahwa kau lebih dulu memendam rasa pada Ratih. Dan Ratih akhirnya memilihku. Sampai pernikahan kami berdua, kau juga tak datang.

Rama, aku tahu aku sangat bersalah merebut cinta pertamamu. Tapi bolehkah aku meminta? Tolong jagalah Ratih. Aku mohon? Aku tak mengerti mengapa aku benar-benar ngotot atas permintaan ini sampai mengirimmu surat segala. Tapi hanya kau yang mampu aku percaya.

Sungguh sebenarnya dulu Ratih pun menaruh hati padamu. Rama, tolonglah?

Bandung, 13 Maret 2009
Sahabatmu, Adey Hendarwan"


Tiga belas maret?? Tanggal yang masih kuingat kuat. Tahun ke-tujuh seharusnya kami merayakan ulang tahun perkawinan. Tapi Dey tak pernah datang ke restoran tempat kami harusnya menghabiskan malam, juga tempat kenangan di mana Dey melamarku dulu. Tentu saja, karna di malam itu juga, mobil Dey ditimpa truk di jalan tol saat hujan itu.

"Rama..." kerongkonganku tercekat, aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tahu Ratih. Aku juga terkejut untuk hari ini. Tapi seperti apa yang diinginkan surat yang ditulis Dey, aku akan menjagamu."

Aku pun terisak lebih lama dan menghempaskan pandangan ke sisi jendela. Hujan kembali menyapa.