Bulan yang sama


"Romantis sekali kau ini."

Kata-kata yang diluncurkan oleh seseorang yang sedari tadi masih menatap langit, mau tak mau membuatku tertegun. Sulit ku mencari sebaris kalimat setelahnya. Akhirnya senyuman tipis kukeluarkan untuk mengisi keheningan ini.

"Percaya tidak? Aku suka orang romantis," sambungnya.

Kukerutkan mataku seketika. Aku tak mengerti mengapa dia membelokkan perbincangan tentang rembulan menjadi perbincangan tentang keromantisan. Rasa jengkel karena bahasan yang tiba-tiba melenceng ini membuat sifat tak mau kalahku pun muncul seketika.

"Lalu mengapa kau tak menjadi orang yang romantis. Bukankah nanti, kau jadi lebih suka pada dirimu sendiri?"

Sepertinya pertanyaanku mengusik imajinasinya. Bergerak dia mencari posisi duduk paling nyaman, kemudian menatapku. Huft, aku paling tidak suka situasi seperti ini. Aku yakin, aku pasti kalah ketika dia mulai menatap mataku ini dalam-dalam. Sempat kupalingkan pandanganku ke arah yang lain mencari pengalih dari situasi ini.

"Zee," panggilnya melembut.

Akhirnya kuberanikan diri meliriknya yang masih menatapku lekat ini.

"Ya," jawabku lirih saat keberanianku mulai mengkerut. Kualihkan pandanganku ke sisi kemejanya. Harum khas parfum miliknya menggoda penciumanku yang terkenal tajam. Tak kusangka dia raih tanganku dan digenggamnya lembut. Kulayangkan raut muka protes mencari jawaban dan pandangan kami bertemu.

"Aku suka orang orang romantis bukan berarti aku suka setiap orang yang punya sisi romantis. Aku akui, akupun bukan orang yang benar-benar mengerti makna romantis. Karena itu, aku ingin seseorang mengajarkanku makna romantis miliknya."

Digesernya tanganku merapat ke tubuhnya. Tatapannya masih belum beralih, tepat menghunus kedalaman ruhku. Senyuman tipis mengiringi kalimatnya yang aku rasa memang sengaja dia potong menunggu reaksiku. Sayangnya aku memang tak memberikan reaksi apapun. Kami sama-sama menunggu. Hembusan nafasnya terdengar menggelitik di telingaku begitu juga nafasku sendiri dalam malam sepi di sisi bukit ini.

"Aku menginginkan keromantisanmu," begitu lanjutnya dengan nada yang masih mengambang.

Aku masih tetap menunggu karena masih mencerna kalimat terakhirnya. Langit, bulan, dan pepohonan juga semilir angin rasanya juga ikut menunggu. Nuansa ini benar-benar hening. Kurasakan genggaman tangannya semakin erat.

"Hanya untukku, Zee. Keromantisanmu." begitu tegasnya dia mengakhiri maksud kalimat yang mengambang tadi.

Sedikit dibuat terkejut setelahnya. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Kerutan alis dan helaan nafas yang sangat panjang membuat raut wajahnya sedikit mengisyaratkan kecewa. Aku masih terdiam sambil memaksakan merangkaikan kata-kata tapi nyatanya gagal.

"Bib, aku tak bisa." kutarik nafasku sedalam mungkin.

"Keromantisanku ini akan ada yang memiliki. Keluargaku sudah merencanakan. Bulan depan aku didaulat menikah atas pilihan mereka. Maaf." kuakhiri kalimatku dengan sangat lirih. Aku sudah tak mampu lagi menjaga intonasinya yang mulai goyah.

Habib, dia adalah teman saat menikmati rembulan dengan menu sederhana, kopi hitam kesukaan kami berdua. Pertama bertemu pun di sudut yang sama, bilik paling pinggir tempat paling luas menatap rembulan dan lampu kota di kejauhan. Dia yang menyapaku dahulu saat itu. Kami pun berkenalan dan obrolan pun berlanjut dihias banyak kesamaan.

Dia pun melepaskan genggaman tangannya dan kembali pada posisi awalnya menatap bulan. "Aku tahu aku terlambat. Aku juga tahu kau akan menikah. Aku tahu aku pun tak mampu menawarkan pilihan, Zee. Selamat berbahagia."

Kini, tatapanku yang tak mau beralih dari sosoknya. Sosok yang tak lagi menatapku dengan lekat. Sosok yang menggantikanku dengan keberadaan rembulan di langit sana. Sosok yang masih membuatku mencintainya dan harus melepaskan makna cinta untuk pertama kalinya. Habib, andai kau tahu rasa yang tak sanggup menahan isak tangis, malam ini aku harus melawannya.

"Terima kasih, bib." sahutku sambil kembali menatap bulan yang sama.