fiksi

Apakah saya menulis fiksi? Ataukah fiksi yang menulis tentang saya? Entah, saya mulai bingung. Saya seperti berdiri di antara keduanya. Berdiri tak mampu, jatuh pun tak mau.

Adakah hierarki gramatikal dari sebuah tulisan? Berkaitan dengan masa lampau? Kenapa selalu dihubung-hubungkan? Karena manusia selalu doyan gosip dan berbincang. Tak ada kata berhenti setelahnya. Tak ada jeda melihat realita. Semu pun menjadi nyata.

Saya ingin memantik rokok sebatang. Tapi rokoknya habis. Entah, lewat apa harus saya keluarkan rasa pusing yang mendera kepala. Bahwa ini fiksi, tak ada yang peduli. Bahwa ini fiksi, tak ada yang mengerti. Jika rokok adalah apresiasi, maka apresiasi akan cepat habis, karena rokok selalu habis. Lalu di mana kematian apresiasi? Asbak, kata fiksi.

Tentang fiksi, banyak orang bilang fiksi bicara tentang kejujuran. Untuk apa jujur pada fiksi? Untuk apa berbicara dengan diri sendiri? Fiksi bukan catatan harian menjemukan, berisi isak tangis, pertemuan, dan perpisahan. Klise dan sangat parah. Bosan.

Tak ada yang menarik bahkan untuk sebuah kematian di dalam fiksi. Pun kematian saya. Saya mati kata, fiksi mematikan saya. Meskipun fiksi bukanlah ular berbisa.

Jika fiksi menggetarkan, mengapa tidak semua orang merasakan hal yang sama? Nyata. Setiap orang tak pernah menaruh harapan yang sama. Harapan yang akan tergilas jika fiksi itu berakhir. Apakah sesuai harapan? Atau hanya munafik belaka?

Fiksi adalah kemunafikan terhadap sebuah kejujuran. Bagi saya, itu adalah hal yang wajar. Walau terkadang sulit untuk diterka. Karena fiksi memainkan kata, bukan takdir. Fiksi adalah kumpulan aksara, bukan jalan kehidupan. Hanya jalan cerita. Tokoh fiksi dibuat secara nyata, menipu realita. Meski jalan cerita dibuat seadanya, dan seringkali juga mengada-ada.

Bahwa fiksi ...


"Ayndra, sedang apa?"

"Ahh, hanya mengerjakan tugas sekolah, Bunda."

"Kalau begitu tidur ya. Sudah tengah malam."

"Iya, Bunda. Habis ini laptop saya matikan."


Bahwa fiksi Bahkan fiksi pun bisa terjadi dalam kehidupan realita karena manusia menghidupkannya tidak lagi sebagai jalan cerita.





--Jogjakarta, 27 Maret 2011 23:57--
--fiksi berat--

pertanyaan

Hai?

Ya.

Sudah makan?

Apakah penting untukmu kalau aku sudah makan?
Ya.

Sudah minum obat?

Tidak minum obat pun aku tak kan mati. Ini hanya flu biasa.
Ya.

Tadi malam tidur nyenyak?

Aku rasa tidurku baik-baik saja. Kau tak perlu risau tentang tidurku.
Ya.

Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu.

Tak perlu kau katakan, aku juga tahu. Siapa yang mau sakit? Atau siapa yang mau sehat? Buat apa sehat sebenarnya?
Ya.

Oke. Kalau begitu aku tidur dulu. Sudah pagi, belum tidur semalaman.

Lalu buat apa kau bertanya padaku tentang ini itu. Atau kau tidak bisa bertanya pada tubuhmu sendiri? Semua pertanyaan yang kau lontarkan lebih tepat tertuju untukmu.
Ya.

Hari ini ada rencana ke mana?

Kau bilang kau mau tidur. Kenapa masih bertanya tentang hal lain?
Entah.

Oke deh. Aku tidur ya. Ngantuk.

Ya.

Baik-baik ya hari ini.

...


Tuut tuut tuuuut.





--Jogjakarta, 27 Maret 2011 10:08--
--fiksi sedikit berat--

janji

Malam berubah dingin, ketika hujan tak juga mau berhenti. Kulirik asbak yang penuh dengan puntung. Kuraih handphone dan mengetik pesan singkat.

"Dingin. Gak jadi dinner."
TERKIRIM

Kubatalkan janji. Cukup meringkuk di balik selimut.

Kulirik asbakku lagi. Masih penuh. Kubatalkan memantik rokok terakhir. Kuraih handphone kembali. Mencari sebuah nama. Ketemu.

"Hai. Gak jadi dinner bareng pacar nich. Keluar yok."
TERKIRIM

Tak berapa lama ku menunggu. Dia datang. Mengecup bibirku sekilas, memagut telingaku. Lalu bibirnya beralih ke jemari tanganku.

"Kita ke mana?" senyumnya menang. Senyuman seorang lelaki yang mendapatkan bingkisan tak terkira.

"Kita ke..."

Tilulilut tilulilut. Mendadak handphone-nya berdering.

"Iya.. iya.. oke," sahutmu datar.

Kau tutup teleponmu, "Maaf ya. Dinda minta diantar ke dokter. Perutnya sakit, takut ada apa-apa sama si jabang bayi."

Senyumku berubah. Datar dan dingin. Aku berbalik ke kamar tanpa satu kata pun.

Handphone-ku kembali berdering. Kulihat sebuah pesan singkat masuk.

"Maaf ya. Lain kali janji gak batal lagi deh. Maklum, anak pertamaku."





--Jogjakarta, 25 Maret 2011 19:25--
--tanpa pemantik--

trans (batas, logika, khayalan)

Kubuka korden dan jendela. Menatap mentari yang baru muncul dari balik pepohonan. Mendadak kusain bergetar hebat. Lantai juga serasa maju mundur. Mendadak ku terjatuh, limbung.

"KRAAAK !!"

Entah bunyi apa di luar. Getaran begitu hebat. Aku bangun dengan lutut goyah. Mencari pintu yang menjadi sangat jauh jaraknya. Belum sempat keluar, mendadak dunia gelap.

"Bangun, Nak. Bangun, Sayang."

Kubuka mataku perlahan. Ada oma dan ada opa mengulurkan tangan. Dengan senyum manis, memikat kerinduan. Penuh wibawa dalam setiap goresan keriputnya. Oma, opa, rasa rindu menyeruak lama tak bertemu.

"Kenapa cuma bengong? Ayo ?!"

Aku hanya terdiam. Melihat jalanan terang di ujung sana. Bunga-bunga terlihat mekar dengan indahnya. Mentari sangat hangat di ujungnya.

Kulihat sekitar. Bajuku terusan berwarna putih. Kakiku telanjang di atas kerikil.

Kulangkahkan kaki ke depan. Kerikil terasa panas. Oma dan opa berjalan lebih dulu bergandengan tangan. Kerikil terasa makin panas, aku berhenti. Oma dan opa menengok, melambaikan tangan menyuruhku cepat-cepat ke arah mereka.

Kulihat kakiku yang telanjang. Kerikil tak berwarna merah. Dan aku masih berhenti, diam.

Mendadak angin berhembus begitu cepat. Sangat dingin. Aku panik karena bajuku tak melindungiku dari hawa dingin. Rasanya ingin berjalan menyusul oma dan opa. Tapi kerikil makin panas setiap aku melangkah.

Aku berhenti, aku terdiam.

Tiba-tiba kerikil bergetar. Angin kembali menghembus, dingin. Aku limbung dan terjatuh. Kupejamkan mata. Aku panik.

"Dok... Dok.. Pasiennya bangun, Dok !!"

Kudengar sayup dari kejauhan. Kubuka mata perlahan, berat rasanya. Tubuhku pegal tapi aku tak merasakan sakit. Lalu kulihat seorang perempuan dengan seragam hijau mudanya berlalu keluar. Tak lama, perempuan tadi menghampiriku bersama dengan seorang lelaki muda berjas putih.

Rasanya lelah, tapi aku tak ingin tertidur kembali.



--Jogjakarta, 25 Maret 2011 16:48--
--[16.04] gempa lokal--

berbisik

“Hujan kembali mendera bumi,” bisikku pada jendela.
“Meretakkan langit, menurunkan rintik.”
“Menghanyutkan bening...”

“Non Asya, telefon,” ujar bibik ragu-ragu di belakangku.

“Iya, aku dengar deringnya. Tutup saja, Bik.”

“Tapi ini dari ibu, Non?” tanya bibik sekali lagi.

“Tutup saja, saya sedang berfikir.”

Bibik berlalu dari kamarku. Kuhela nafas panjang.

“Gemuruh mengalunkan irama,” bisikku lagi pada teralis.
“Garis mendung milik langit mengantarkan perlambangan.”
“Mengalir air dalam arusnya, deras, pekat.”

“Non, kali ini bapak yang nelfon,” ujar bibik masih ragu-ragu di belakangku.

“Tutup saja, Bik.”

“Bapak ngotot bicara, Non,” bibik menunggu.

Kuhela nafas panjang dan turun ke lantai satu meraih telefon.

“Hello, Daddy. How are you? Holland still winter, yea?” tanyaku basi.

“Asya!!” kudengar hampir jeritan di sana.

“Daddy, pleace. Calm down lah. Asya tahu, Asya sudah gugurin tadi pagi. Dukun dari Bogor.”

“Kamu langgar janji kamu ke Daddy juga mommy. You know what its mean!!” kujauhkan telfon dan memandang hujan dari pinggir jendela.

“ASYA!! Asya!! Are you hear me?!” buru-buru kuraih lagi gagang telefon.

“Yea, I know,” kututup malas telefon dan kembali ku duduk di pinggir jendela.

“Meregangkan satu nyawa, mengusirnya pergi dari kehidupan,” bisikku pada tirai.
“Kau beruntung tak mengecap kehidupan.”

“Non, Non!! Duh, Masya Allah. Non Asya kenapa?! Aduh ini gimana? Non, bangun Non. Pak Tarjo, Pak !!! Tolong, aduh, TOLOONG!!!!”

Kulihat dari pinggir jendela, bibik sibuk membangunkanku, pak Tarjo sibuk membopongku, dan aku hanya terpaku pada merahnya kasur putihku. Ahh, tubuhku mau dibawa ke mana oleh mereka.





--Jogjakarta, 20 Marei 2011 14:02--
--hanya klise--

dia yang memperhatikanku

"Belum tidur?" kau kecup pipiku perlahan.

"Belum," mata dan jariku tak beralih dari layar dan keyboard notebook di depanku.

"Tengah malam."

"Aku tahu."

Setelah mengingatkanku, kau kembali tertidur merapatkan selimut. Suasana kembali hening. Mataku masih tak beralih dari puluhan program yang sedang kubuka, menyisir satu persatu tulisan yang tertera di sana. Jariku hanya mengetik sesekali.

"Uhh, penat," kuregangkan punggung dan tanganku meninju langit-langit.
"Bikin susu panas aja ah."

Kuangkat pantatku dari kursi yang semakin panas. Mataku sebenarnya lelah, tapi rasanya kalau kutunda pekerjaan ini besok, sama saja harus mengulangi dari pemanasan dulu sebelum mengerjakan. Tanggung !!

Kubuka lemari dapur mengambil gelas. Menyobek sachet susu instan. Rasanya ada yang memperhatikan.

"Ehh, kok nyusul tidur?"

Tak kupedulikan pertanyaanmu, kupeluk perutmu erat-erat. Kau yang mendadak terganggu, memilih membelai rambutku.

"Enakan ditemenin kamu ketimbang ditemenin mas ocong," bisikku.

"Hmm, berdoa ya sebelum tidur," kembali kau kecup keningku.

"Iya, aku berdoa semoga susu instanku enggak dia minum. Udah dituang ke gelas, kutinggalin di dapur gitu aja," semakin kurapatkan mataku ke perutmu.

"Dasar !"





--Jogjakarta, 10 Maret 2011--
--selamat malam--