preman

Pekerja seni dan seniman itu berbeda!! Serumu.

Pekerja seni adalah orang yang mengerjakan seni, beberapa melakukannya dengan cinta tapi lebih sering membual karena tak lebih urusan perut meronta.

Seniman itu pilihan kehidupan, tapi bukan manusia yang memilih seni. Seni yang memilihnya !!

Aku tak peduli dengan cerocosnya yang membanjiri dinding ruangan kami sama-sama berdiri. Kubiarkan dia memperkosa dua makna yang bagiku sama.

Matanya yang pernah memikatku kini mendelik hampir loncat. Raut mukanya yang pernah meneguhkanku kini hijau geram bak buto ijo yang marah di kisah-kisah pewayangan.

Kesalahnku hanya standar. Memakinya pengangguran dan mencibirnya tak punya uang. Karna kami menikah, dua puluh tahun lamanya. Mengenalkan dirinya padaku dulu, dia seniman. Yang buatku kini, adalah makna yang sama dengan preman.


--Banaran, 24 Februari 2012 8:30--

dia datang lagi


Dia datang lagi. Pada saat rambutku sudah dua kali memanjang karena tak pernah aku pangkas. Mungkin kalau aku sanggup mengeja waktu, sudah 2 kali kembang api malam taun baru aku lewatkan tanpa namanya.

Dia hadir lagi. Hanya dalam dua potong kata.

Sejak awal sampai entah kapan dia menghilang dan kejadian pasti berulang sampai kesekian kali aku tak menghitungnya lagi, selalu dua kata itu yang dia tanyakan. "Apa kabar".

Aku tak pernah berpikir bahwa kabarku baik akan melegakan dirinya, atau kabarku buruk pun tak akan berpengaruh apa-apa padanya.

Dia seolah-olah angin yang datang, hinggap, lalu pergi. Tapi angin tak pernah memiliki jejak.

Pernah dia menjejak hati saat pertama kami bertemu. Hatiku. Tak sampai sempoyongan, aku hanya mengamati detik-detik dia melakukannya. Tak juga memberi respon apa-apa. Sampai suatu ketika aku panik sendiri karena aku tak mampu lagi mengolah rasa dan pemikiran secara logis.

"Aku nyaman di dekatmu". Hanya sepenggal kalimat itu yang aku katakan dan mendapat jawabanmu bahwa kau belum siap untuk berhubungan atas dasar apapun.

Aku memilih mundur dan membiaskan rasa pada semua hal yang aku tahu. Aku tak mau kembali rapuh seperti tokoh wanita yang selalu sendu dalam berbagai roman pujangga manapun. 

Kubiarkan rasaku membentuk segala inchi hatiku merasakan hal-hal yang tak pernah kurasa. Kubiarkan mataku menembus segala dinding tembok yang ada mengamati dunia berjalan apa adanya. Kubiarkan tanganku menggenggam segala hal yang belum pernah aku genggam, merasakannya dan merekam bentuknya dengan lebih jelas. Kubiarkan aku sampai pada kesimpulan, aku ingin mencintai diriku sendiri melebihi siapapun sampai aku punya cinta yang berlimpah dan mampu kubagi dengan siapapun.

Dua potong kata menyapa. Dia datang lagi.

Rasa lalu telah beku. Walau dicairkan suhu matahari sekalipun, rasanya ampas pun tak bersisa. Tidak ada lagi namanya. Dia hanya sosok yang datang, hadir, lalu pergi. Hanya meninggalkan dua potong kata, "Apa kabar". 




--Jogjakarta, 18 Februari 2012 18:09--