Aku tak ingin Anakku terlahir Perempuan



"Sudah berapa lama, No?"

"4 bulan."

"Kau yakin dia ayahnya?"

"Hmm, cuma dia Pi." sahutku melemas.

~~

Lamunku melayang ke beberapa bulan lalu. Ketika bertemu sosok yang sangat teduh. Rafi yang lembut dan selalu menjadi guru favorit di antara anak-anak didiknya di bimbingan belajar depan tempat kerjaku. Bimbel itu sendiri baru berdiri, namanya masih asing di telingaku. Atau mungkin karna aku sendiri anak rantau baru di kota ini, jadi aku tak tahu-menahu tentang seluk beluk dunia kerjanya itu.

Kami pun berkenalan pertama kali di warteg dekat tempat kerja. Keadaan warteg yang memang penuh, menjadikan dia kelimpungan mencari tempat duduk. Aku sendiri duduk berdua dengan temanku dan dia datang ke meja kami, sejurus kemudian bertanya apakah dia boleh duduk di meja kami.

Dia sebutkan namanya dan bercerita tentang kerjaannya. Umurnya sendiri masih muda, sekitar 26 taun mungkin. Setelah menghabiskan makan siang, kami pun berbincang sebentar dan akhirnya memutuskan kembali ke kerjaan.

Pertemuan kedua, warteg memang tidak penuh. Aku memilih makan di ujung ruangan sendiri. Tak tahunya Rafi tiba-tiba menyapaku dan mau tak mau kami pun jadi makan berdua. Setelah selesai, Rafi menawarkan bertukar nomor telepon genggam.

~~

Baru saja sampai di depan meja kerjaku, ada sms masuk.

"Cuma ngecek, nomer yang kau berikan ini punyamu atau ayahmu. :D"

Langsung kubalas saja

"Jangan macam-macam sama anak saya ya :p"

Tak berapa lama, Rafi juga membalas

"Cuma disenggol dikit kok, Om. Boleh tidak?"

Aku yang iseng karena beberapa teman kerja memang belum kembali ke kantor, masih saja mencoba membalas

"Apanya yang mau disenggol ?"

Agak lama dia tak membalas. Hampir saja kumasukkan hapeku ke tas sebelum getar telepon itu membuat mataku sedikit mengernyit

"Halo, Rafi??"

"Emm,,, " suaranya sedikit tertahan.
"Kalau boleh sih disenggol hatinya. Hehhee."

"Emm, Eno, udah dulu ya. Aku harus masuk nih, anak-anak udah pada nunggu. Nanti malem terusin lagi yaa." telepon pun ditutup.

Aku pun dibuat bengong setelahnya. Baru juga bertemu dua kali, masa mau bermain hati, begitu pikirku. Jadinya kuanggap angin lalu. Tak tahunya setelah kejadian itu, kami malah semakin sering bertelepon. Makan siang juga lebih sering berdua. Sampai suatu hari, dia utarakan mau main ke kosku.

Semakin hari kami pun semakin mesra. Tapi tak pernah terbersit di perbincangan kami tentang komitmen ataupun status pacaran. Lucunya, kami sudah punya panggilan sayang dan sering bilang suka. Akhir minggu, beberapa kali kami habiskan pergi ke luar kota berdua. Hanya sekedar ke tempat-tempat wisata dan berfoto narsis sana-sini. Tak terasa sudah dua bulan kami bersama.

Suatu hari di akhir minggu, Rafi mengajakku main ke kontrakannya. Sampai di sana ternyata sepi. Rafi baru bilang kalau teman-teman satu kontrakan yang jumlahnya cuma 3 orang itu sering nongkrong di luar sampai dini hari. Kutengok jam tanganku, pukul tujuh. Kuajak Rafi makan malam di luar, tapi dia menolak. Dia bilang mau makanan yang dimasak olehku. Akhirnya aku mengalah, aku memasak dengan bahan-bahan yang ada di sana.

Memang romantis. Kami serasa sudah hidup satu rumah saja. Rafi sangat perhatian apalagi ketika tanganku kecipratan minyak panas. Dia langsung menghamburkan punggung tanganku ke air dingin. Begitu juga ketika makan, Rafi menyuapiku.

Setelah makan, kami nonton tivi di ruang tengah. Dia belai lembut rambutku. Aku pun tak mau kalah bermanja padanya. Kusandarkan kepalaku ke dadanya sambil menggenggam tangannya. Tak kusangka, Rafi berbisik padaku.

"Eno, aku mau kamu malam ini."

Aku yang sudah 22 tahun ini tentu sudah tau apa maksudnya. Kulihat Rafi lama. Ingin kulancarkan aksi protes. Tapi sebelum kuutarakan satu kata, tau-tau Rafi sudah mengecup bibirku. Awalnya lembut, tapi makin lama aku sendiri kelabakan. Kudorong tubuhnya menjauh.

"Raf, aku belum siap." begitu hardikku.

"Eno, cintakah kau padaku selama ini? Kau tak mau buktikan cinta dan tulusmu? Aku mau buktikan padamu. Aku ini tulus dan cinta kamu Eno."

"Kalau aku sampai hamil?" potongku.

"Aku akan jadi ayah anakmu. Dan kau akan jadi ibu anakku, sayang." kemudian dia kecup jemariku.
"Bagaimana?"

Akhirnya aku pun mengalah. Dan kami menghabiskan malam syahdu itu berdua saja di kontrakan.

~~

"Kau ini kenapa bisa sih??"

"Aku tak tahu, Pi."

Arpi adalah teman kantorku yang bertemu dengan Rafi saat kami di warteg dulu. Dia juga sahabat terbaikku sampai saat ini.

"Udah cek ke bimbelnya?"

Aku pun mengangguk lemas, "Kata orang sana, dia tiba-tiba mengundurkan diri dan tak pernah muncul lagi sejak 2 minggu lalu. Nomernya juga tidak bisa dihubungi. Datanya yang ada di bimbel juga tidak bisa diakses. Buntu, Pi."

"Keluarganya? Teman kontrakannya?"

Kini aku menggeleng, "Nihil. Aku tak pernah bertemu satu pun keluarganya, seingatku dia juga tidak pernah cerita tentang keluarganya. Teman kontrakannya juga tidak tahu apa-apa."

"Aduh, Enoooo !!! Awas ya lelaki itu kalau ketemu !!" sepertinya Arpi juga sedikit mangkel.

"Satu-satunya yang ditinggal ya alamat ini, Pi."

"Kau mau ke sana??" tanya Arpi.

Aku cuma mengangguk.

~~

Setelah mengepak barang seadanya, aku dibantu Arpi ke terminal. Dia melepasku dengan ketidaktegaan. Maunya Arpi juga ikut, tapi kerjaan di kantor sedang menumpuk. Kerjaanku sendiri juga diambil alih olehnya.

"Kutunggu kabar baik ya, Eno. Kau harus tegas sama lelaki itu. Kalau ada apa-apa di sana, pokoknya hubungi aku. Nanti kalau sudah sampai di sana, jangan lupa hubungi Aren juga. Biar dia yang mengantarmu ke mana-mana."

Aren adalah adik lelaki Arpi. Untungnya kota yang kutuju ini, aku tak bakal kelimpungan mencari alamat sendirian. Aren sudah lama tinggal dan bekerja di Malang.

Enam jam membuat tubuhku sedikit pegal di sana-sini. Tapi pegal itu hilang ketika aku sudah melihat tugu selamat datang. Memang masih agak lama sampai ke terminal, tapi paling tidak aku sebaiknya menghubungi Aren.

Dijemput aku oleh Aren dan diantarkan ke kontrakannya yang sederhana. Katanya, Aren tinggal sendiri. Dia menyuruhku untuk istirahat hari ini dan mencari alamatnya besok saja. Setelah meminta alamatnya padaku, Aren menghilang sampai pagi. Dia hanya meninggalkan makan malam dan sepucuk pesan 'selamat istirahat' di meja makan.

~~

Esok paginya, Aren bilang sudah tahu daerah yang dituju. Tapi belum yakin yang mana alamat pastinya. Aku pun diantarkan ke sana. Rafi, semoga kau ada di sana.

Setelah berputar-putar agak lama, akhirnya kami menemukan sebuah rumah kecil. Persis seperti di alamat. Tapi rasanya mataku tak salah tangkap, rumah itu kosong. Akhirnya kami bertanya ke tetangga kanan kiri, siapa sebenarnya pemilik rumah ini dan di mana Rafi.

Hampir setiap tetangga yang kutemui bilang kalau si pemilik rumah sudah pindah setelah menikah. Begitu kutanya tentang Rafi, tidak ada yang tahu. Si pemilik rumah bernama Axcel. Berkali-kali kutanya pada beberapa tetangga, akhirnya kudapatkan alamat baru Axcel. Kami pun ke sana esok harinya karna tubuhku sendiri sudah lemas bukan kepalang. Aku kembali mual sejak pagi.

Agak sore kami berangkat karna Aren seharian harus menyelesaikan kerjaannya dulu. Alamat itu mudah sekali ditemukan. Yang tak kusangka, aku menemukan Rafi sedang berjalan ke sebuah rumah. Rumah yang memang sedang kutuju. Dia sapa beberapa tetangga yang dilaluinya. Kemudian seorang perempuan manis keluar dari rumah itu. Mereka menghambur berpelukan dan mengecup pipi selintas.

Aku sedikit bimbang. Sepertinya itu memang rumahnya, sepertinya Axcel adalah Rafi dan Rafi adalah Axcel. Dalam kebimbangan, kulihat Rafi keluar dari rumah sambil menggendong seorang anak berumur satu tahunan. Menyusul kemudian perempuan manis itu. Terlihat Rafi bermain-main dengan anak itu dengan riangnya, tak lupa sesekali dia kecup perempuan itu.

Mataku panas, air mataku menetes satu-satu. Aren menyentuh pundakku ragu.

"Mau ke sana mbak?"

Setelah kuredakan emosiku, kukatakan pada Aren untuk menunggu di ujung jalan saja tempat sedari tadi kami berhenti. Lalu, kulangkahkan kakiku perlahan ke arah rumah itu. Kuambil nafas berat sebelum aku berhenti tepat di depan rumahnya.

Kuputuskan untuk membunyikan bel, walau kutahu mereka sebenarnya ada di halaman rumah. Begitu pagar dibuka, Rafi kaget bukan kepalang.

"E...Eno ??"

Dengan intonasi yang kubuat sebaik mungkin, memang tak bisa kupungkiri bahwa marahku sebenarnya mau meledak

"Raf ... kau memang ayah anakku. Aku juga ibu anakmu. Tapi aku tak pernah berharap anakku terlahir perempuan.."

sedikit kutahan emosiku, ".. Biar dia tak perlu mencari-cari walinya saat dia menikah nanti. Biar dia tak pernah kenal ayahnya. Anakku yang sedang kukandung ini, , ,anakmu Raf."

Kemudian aku berbalik dan berjalan mantap. Kudengar perkelahian di belakangku dan Rafi memanggilku berkali-kali. Tapi aku memilih . . . pergi.

"Sudah mba?" tanya Aren sewaktu kudekati.

"Sudah, Ren. Ayo kita pulang. Urusan sudah selesai." anggukku mantap.



ps. Cerita ini terinspirasi oleh kisah yang dituturkan salah seorang pendengar saat aku masih menjadi admin blog sebuag radio di Jogja. Cerita ini memang fiktif, tapi terinspirasi oleh sebuah kisah nyata.

photo source : photobucket.com