rindu

Jika rindu adalah sebuah kata yang mudah dicairkan seperti sedang menaruh sesendok sirup yang disiram air, mungkin segalanya akan lebih sederhana. Tidak perlu berputar-putar pada alasan yang tak jelas. Tak beralasan sama sekali.

Jika rindu pada kata seperti mudahnya membuka lembaran kamus berbahasa manusia mana pun, lalu rindu seolah-olah terobati. Tapi nyatanya palsu. Kata punya jiwa, kata mengandung segala bias, dan terkadang kata memiliki dahaga.

Jika rindu milik manusia bodoh sepertiku yang tak pernah terhembus mendadak merana di batas rona. Kenapa definisi rindu menjadi berhenti di sini.

Aku rindu merangkaimu, membentukmu, membagimu menjadi sekuel-sekuel rasa.

Ketika memejamkan mata, seperti berlayar di atas samudera yang tenang, tapi tak mampu melihat arah. Tak ada bintang utara, tak ada angin selatan, tak ada bulan purnama, tak ada duyung yang mengabarkan buih daratan.

Tersesat.





--Jogjakarta, 18 Oktober 2011 20:32--

mampus

Kalo kamu di sini, kamu -- aku peluk, kamu -- aku elus, aku manja, sampe kamu mampus. Kalo kamu di sini, kamu -- aku ceritain, kamu -- aku curhatin, aku kasih tau kalo aku hampir mampus. Kalo kamu di sini, kamu -- aku kasih susu putih campur cokelat kesukaanmu, kamu -- aku beri apa yang kamu mau.

Kalo aku di sini, aku -- kamu anggurin, aku -- kamu biarin, sampe aku mampus. Kalo aku di sini, aku -- kamu diemin, aku -- kamu cuekin, sampe aku gak bisa ngomong kalo hampir mampus. Kalo aku di sini, kamu selalu bilang -- suka-suka aku mau apa sama kesukaanku.

Kalo kamu di sini, aku mampus. Kalo aku di sini, aku benar-benar mampus.





--Jogjakarta, 9 April 2011 15:13--
--kita kok nggak pernah sama--

aku pergi

"Dia perempuan yang sudah mapan."

Aku sudah tau akan berakhir ke mana pembicaraan seperti ini. Rasanya dalam beberapa tahun ini, pembicaraan seperti ini sudah menjadi hal yang sangat biasa bagiku. Seperti sarapan pagi dengan sekerat roti dan segelas susu.

"Dia lebih dewasa dariku. Lebih tua tiga tahun."

Ya, dan aku lebih muda darimu. Lebih muda tiga tahun. Hal yang sangat berbanding terbalik dengan wanita itu. Bagimu dewasa adalah memanjakan, bukan dimanjakan. Aku sudah tau dari awal. Kebetulan aku bukan perempuan yang suka memanjakan, juga dimanjakan. Ketika setiap perempuan membutuhkan belaian di rambutnya, aku tidak. Atau jika ada perempuan yang selalu membutuhkan kecup di bibirnya, aku tidak.

"Aku bertemu dengannya di lingkungan kerja. Dia kerja di kantor sebelah."

Aku tahu, hubungan kita memang bertahan di tempat yang sama. Tidak maju, juga tidak mundur. Padahal salah satu dari kita selalu mengulang bahwa jarak bukanlah hal besar yang menjadi penghalang. Bukan berarti jarak tidak mampu mendekatkan hati yang tengah bercinta. Ah, rasanya cinta kita memang selalu hambar. Tak ada variasi kecuali suara gombal dan pesan murahan yang selalu kuterima melalui email.

"Minggu lalu aku bertemu dengan keluarganya."

Rasanya kau memang belum pernah bertemu dengan keluargaku. Aku tidak pernah yakin memiliki cinta untukmu. Aku juga tidak pernah yakin bahwa kaulah orangnya. Aku malas mengenalkanmu pada keluargaku. Jika aku salah, aku harus mengulangi segalanya dari awal. Sungguh sangat membosankan.

"Dan aku sudah melamarnya."

Bagus. Akhirnya setelah kesana-kemari, kau mulai masuk pada intinya. Aku tak butuh lelaki yang suka bertele-tele,"Jadi maumu apa?" lebih baik kuakhiri saja. Toh sudah jelas ke mana pembicaraan ini akan berakhir.

"Aku akan menikahi perempuan itu akhir bulan ini."

Kuminum kopi terakhir di gelas. Sekali telan, sudahlah.

"Baik, aku pergi," jawabku sambil berdiri, meninggalkan yang telah lalu.





--Jogjakarta, 4 April 2011 15:41--
--dia bukan untukku--

fiksi

Apakah saya menulis fiksi? Ataukah fiksi yang menulis tentang saya? Entah, saya mulai bingung. Saya seperti berdiri di antara keduanya. Berdiri tak mampu, jatuh pun tak mau.

Adakah hierarki gramatikal dari sebuah tulisan? Berkaitan dengan masa lampau? Kenapa selalu dihubung-hubungkan? Karena manusia selalu doyan gosip dan berbincang. Tak ada kata berhenti setelahnya. Tak ada jeda melihat realita. Semu pun menjadi nyata.

Saya ingin memantik rokok sebatang. Tapi rokoknya habis. Entah, lewat apa harus saya keluarkan rasa pusing yang mendera kepala. Bahwa ini fiksi, tak ada yang peduli. Bahwa ini fiksi, tak ada yang mengerti. Jika rokok adalah apresiasi, maka apresiasi akan cepat habis, karena rokok selalu habis. Lalu di mana kematian apresiasi? Asbak, kata fiksi.

Tentang fiksi, banyak orang bilang fiksi bicara tentang kejujuran. Untuk apa jujur pada fiksi? Untuk apa berbicara dengan diri sendiri? Fiksi bukan catatan harian menjemukan, berisi isak tangis, pertemuan, dan perpisahan. Klise dan sangat parah. Bosan.

Tak ada yang menarik bahkan untuk sebuah kematian di dalam fiksi. Pun kematian saya. Saya mati kata, fiksi mematikan saya. Meskipun fiksi bukanlah ular berbisa.

Jika fiksi menggetarkan, mengapa tidak semua orang merasakan hal yang sama? Nyata. Setiap orang tak pernah menaruh harapan yang sama. Harapan yang akan tergilas jika fiksi itu berakhir. Apakah sesuai harapan? Atau hanya munafik belaka?

Fiksi adalah kemunafikan terhadap sebuah kejujuran. Bagi saya, itu adalah hal yang wajar. Walau terkadang sulit untuk diterka. Karena fiksi memainkan kata, bukan takdir. Fiksi adalah kumpulan aksara, bukan jalan kehidupan. Hanya jalan cerita. Tokoh fiksi dibuat secara nyata, menipu realita. Meski jalan cerita dibuat seadanya, dan seringkali juga mengada-ada.

Bahwa fiksi ...


"Ayndra, sedang apa?"

"Ahh, hanya mengerjakan tugas sekolah, Bunda."

"Kalau begitu tidur ya. Sudah tengah malam."

"Iya, Bunda. Habis ini laptop saya matikan."


Bahwa fiksi Bahkan fiksi pun bisa terjadi dalam kehidupan realita karena manusia menghidupkannya tidak lagi sebagai jalan cerita.





--Jogjakarta, 27 Maret 2011 23:57--
--fiksi berat--

pertanyaan

Hai?

Ya.

Sudah makan?

Apakah penting untukmu kalau aku sudah makan?
Ya.

Sudah minum obat?

Tidak minum obat pun aku tak kan mati. Ini hanya flu biasa.
Ya.

Tadi malam tidur nyenyak?

Aku rasa tidurku baik-baik saja. Kau tak perlu risau tentang tidurku.
Ya.

Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu.

Tak perlu kau katakan, aku juga tahu. Siapa yang mau sakit? Atau siapa yang mau sehat? Buat apa sehat sebenarnya?
Ya.

Oke. Kalau begitu aku tidur dulu. Sudah pagi, belum tidur semalaman.

Lalu buat apa kau bertanya padaku tentang ini itu. Atau kau tidak bisa bertanya pada tubuhmu sendiri? Semua pertanyaan yang kau lontarkan lebih tepat tertuju untukmu.
Ya.

Hari ini ada rencana ke mana?

Kau bilang kau mau tidur. Kenapa masih bertanya tentang hal lain?
Entah.

Oke deh. Aku tidur ya. Ngantuk.

Ya.

Baik-baik ya hari ini.

...


Tuut tuut tuuuut.





--Jogjakarta, 27 Maret 2011 10:08--
--fiksi sedikit berat--

janji

Malam berubah dingin, ketika hujan tak juga mau berhenti. Kulirik asbak yang penuh dengan puntung. Kuraih handphone dan mengetik pesan singkat.

"Dingin. Gak jadi dinner."
TERKIRIM

Kubatalkan janji. Cukup meringkuk di balik selimut.

Kulirik asbakku lagi. Masih penuh. Kubatalkan memantik rokok terakhir. Kuraih handphone kembali. Mencari sebuah nama. Ketemu.

"Hai. Gak jadi dinner bareng pacar nich. Keluar yok."
TERKIRIM

Tak berapa lama ku menunggu. Dia datang. Mengecup bibirku sekilas, memagut telingaku. Lalu bibirnya beralih ke jemari tanganku.

"Kita ke mana?" senyumnya menang. Senyuman seorang lelaki yang mendapatkan bingkisan tak terkira.

"Kita ke..."

Tilulilut tilulilut. Mendadak handphone-nya berdering.

"Iya.. iya.. oke," sahutmu datar.

Kau tutup teleponmu, "Maaf ya. Dinda minta diantar ke dokter. Perutnya sakit, takut ada apa-apa sama si jabang bayi."

Senyumku berubah. Datar dan dingin. Aku berbalik ke kamar tanpa satu kata pun.

Handphone-ku kembali berdering. Kulihat sebuah pesan singkat masuk.

"Maaf ya. Lain kali janji gak batal lagi deh. Maklum, anak pertamaku."





--Jogjakarta, 25 Maret 2011 19:25--
--tanpa pemantik--

trans (batas, logika, khayalan)

Kubuka korden dan jendela. Menatap mentari yang baru muncul dari balik pepohonan. Mendadak kusain bergetar hebat. Lantai juga serasa maju mundur. Mendadak ku terjatuh, limbung.

"KRAAAK !!"

Entah bunyi apa di luar. Getaran begitu hebat. Aku bangun dengan lutut goyah. Mencari pintu yang menjadi sangat jauh jaraknya. Belum sempat keluar, mendadak dunia gelap.

"Bangun, Nak. Bangun, Sayang."

Kubuka mataku perlahan. Ada oma dan ada opa mengulurkan tangan. Dengan senyum manis, memikat kerinduan. Penuh wibawa dalam setiap goresan keriputnya. Oma, opa, rasa rindu menyeruak lama tak bertemu.

"Kenapa cuma bengong? Ayo ?!"

Aku hanya terdiam. Melihat jalanan terang di ujung sana. Bunga-bunga terlihat mekar dengan indahnya. Mentari sangat hangat di ujungnya.

Kulihat sekitar. Bajuku terusan berwarna putih. Kakiku telanjang di atas kerikil.

Kulangkahkan kaki ke depan. Kerikil terasa panas. Oma dan opa berjalan lebih dulu bergandengan tangan. Kerikil terasa makin panas, aku berhenti. Oma dan opa menengok, melambaikan tangan menyuruhku cepat-cepat ke arah mereka.

Kulihat kakiku yang telanjang. Kerikil tak berwarna merah. Dan aku masih berhenti, diam.

Mendadak angin berhembus begitu cepat. Sangat dingin. Aku panik karena bajuku tak melindungiku dari hawa dingin. Rasanya ingin berjalan menyusul oma dan opa. Tapi kerikil makin panas setiap aku melangkah.

Aku berhenti, aku terdiam.

Tiba-tiba kerikil bergetar. Angin kembali menghembus, dingin. Aku limbung dan terjatuh. Kupejamkan mata. Aku panik.

"Dok... Dok.. Pasiennya bangun, Dok !!"

Kudengar sayup dari kejauhan. Kubuka mata perlahan, berat rasanya. Tubuhku pegal tapi aku tak merasakan sakit. Lalu kulihat seorang perempuan dengan seragam hijau mudanya berlalu keluar. Tak lama, perempuan tadi menghampiriku bersama dengan seorang lelaki muda berjas putih.

Rasanya lelah, tapi aku tak ingin tertidur kembali.



--Jogjakarta, 25 Maret 2011 16:48--
--[16.04] gempa lokal--

berbisik

“Hujan kembali mendera bumi,” bisikku pada jendela.
“Meretakkan langit, menurunkan rintik.”
“Menghanyutkan bening...”

“Non Asya, telefon,” ujar bibik ragu-ragu di belakangku.

“Iya, aku dengar deringnya. Tutup saja, Bik.”

“Tapi ini dari ibu, Non?” tanya bibik sekali lagi.

“Tutup saja, saya sedang berfikir.”

Bibik berlalu dari kamarku. Kuhela nafas panjang.

“Gemuruh mengalunkan irama,” bisikku lagi pada teralis.
“Garis mendung milik langit mengantarkan perlambangan.”
“Mengalir air dalam arusnya, deras, pekat.”

“Non, kali ini bapak yang nelfon,” ujar bibik masih ragu-ragu di belakangku.

“Tutup saja, Bik.”

“Bapak ngotot bicara, Non,” bibik menunggu.

Kuhela nafas panjang dan turun ke lantai satu meraih telefon.

“Hello, Daddy. How are you? Holland still winter, yea?” tanyaku basi.

“Asya!!” kudengar hampir jeritan di sana.

“Daddy, pleace. Calm down lah. Asya tahu, Asya sudah gugurin tadi pagi. Dukun dari Bogor.”

“Kamu langgar janji kamu ke Daddy juga mommy. You know what its mean!!” kujauhkan telfon dan memandang hujan dari pinggir jendela.

“ASYA!! Asya!! Are you hear me?!” buru-buru kuraih lagi gagang telefon.

“Yea, I know,” kututup malas telefon dan kembali ku duduk di pinggir jendela.

“Meregangkan satu nyawa, mengusirnya pergi dari kehidupan,” bisikku pada tirai.
“Kau beruntung tak mengecap kehidupan.”

“Non, Non!! Duh, Masya Allah. Non Asya kenapa?! Aduh ini gimana? Non, bangun Non. Pak Tarjo, Pak !!! Tolong, aduh, TOLOONG!!!!”

Kulihat dari pinggir jendela, bibik sibuk membangunkanku, pak Tarjo sibuk membopongku, dan aku hanya terpaku pada merahnya kasur putihku. Ahh, tubuhku mau dibawa ke mana oleh mereka.





--Jogjakarta, 20 Marei 2011 14:02--
--hanya klise--

dia yang memperhatikanku

"Belum tidur?" kau kecup pipiku perlahan.

"Belum," mata dan jariku tak beralih dari layar dan keyboard notebook di depanku.

"Tengah malam."

"Aku tahu."

Setelah mengingatkanku, kau kembali tertidur merapatkan selimut. Suasana kembali hening. Mataku masih tak beralih dari puluhan program yang sedang kubuka, menyisir satu persatu tulisan yang tertera di sana. Jariku hanya mengetik sesekali.

"Uhh, penat," kuregangkan punggung dan tanganku meninju langit-langit.
"Bikin susu panas aja ah."

Kuangkat pantatku dari kursi yang semakin panas. Mataku sebenarnya lelah, tapi rasanya kalau kutunda pekerjaan ini besok, sama saja harus mengulangi dari pemanasan dulu sebelum mengerjakan. Tanggung !!

Kubuka lemari dapur mengambil gelas. Menyobek sachet susu instan. Rasanya ada yang memperhatikan.

"Ehh, kok nyusul tidur?"

Tak kupedulikan pertanyaanmu, kupeluk perutmu erat-erat. Kau yang mendadak terganggu, memilih membelai rambutku.

"Enakan ditemenin kamu ketimbang ditemenin mas ocong," bisikku.

"Hmm, berdoa ya sebelum tidur," kembali kau kecup keningku.

"Iya, aku berdoa semoga susu instanku enggak dia minum. Udah dituang ke gelas, kutinggalin di dapur gitu aja," semakin kurapatkan mataku ke perutmu.

"Dasar !"





--Jogjakarta, 10 Maret 2011--
--selamat malam--

dari balik perdu



Cukup lelah mengikuti kaki-kaki kecil. Mengawasi kumpulan mungil dari kejauhan dengan hati yang sedikit was-was.

Sesekali kuteriakkan, "Jangan jauh-jauh! Ayo ke sini."

Kemudian kumpulan mungil pun akan patuh pada sumber suara. Terkadang turut kembali padaku dan merebahkan kepala mungil di pangkuan.

"Oma," bisikan mungil.
"Langit pagi begitu tenang, begitu damai, yaa," aku hanya menganggukkan kepala.

"Oma! Vallen! Ikan! Besaar!!"

"Hati-hati, Darl !" kuperingatkan si bungsu yang mengangkat pancingannya sambil berlari ke arahku.

"Of we koken vis voor de lunch?" dan si bungsu pun tertawa.

"Akan kukembalikan ke kolam, Oma."

Mataku tak beralih saat kaki mungil Darl kembali menuju genangan air bernama danau itu.

"Oma?"

Ahh, suara mungil itu membangunkanku dari mimpi. Kulihat sekeliling, tak ada apa-apa. Hanya ada perdu yang terus mengangguk tertimpa angin.

Kututup majalah yang kubawa dan selanjutnya kulipat tikar tempatku tertidur.

Ketika akan beranjak, kembali kulihat danau itu di kejauhan.

"Ben je goed, kleine? Oma mist jullie," bisikku sebelum meninggalkan kumpulan perdu.

"Oma. Darl en Vallen missen Oma," bisik mereka dari balik perdu-perdu dingin yang tak pernah kudengar.


---#---







Google translator

Of we koken vis voor de lunch = apakah kita masak ikan untuk makan siang
Ben je goed, kleine? apakah kalian baik-baik saja, mungil?
Oma mist jullie = oma rindu kalian
Darl en Vallen missen Oma = Darl dan Vallen rindu oma


--Jogjakarta, 12 Februari 2011 19:55--
--terkadang ada hal yang tak mampu terselesaikan--

pict. source = dinasay.blogspot.com

cinta ini tak kan habis, mak




Emak,
lama tak bersua. Dulu dan sekarang aku sama, emak pun sama. Umurku memang bertambah, tapi aku masih kanak-kanakmu mak. Aku masih suka mencium bau ketiakmu walau sekarang aku lebih suka bau sabunmu dan lebih sering menyemprotkan minyak wangiku menutupi aroma tubuhmu.

Emak,
sudah lama aku menangkup janji tak akan lagi menangis di depanmu. Bukan sebagai bukti kedewasaan atau keangkuhanku, aku cuma ingin jadi anak yang tersenyum kalau kau menangis, sama halnya emak yang tersenyum jika aku menangis semasa di gendonganmu dulu.

Emak,
aku tak sanggup menghitung berapa banyak kebaikan yang kau berikan untukku. Tapi aku masih mampu menghitung kebaikan yang kuberikan untukmu dengan jemariku. Lalu kau hentikan aku saat aku berhenti di hitungan ke sekian, "tak perlu", katamu sambil tersenyum.

Emak,
dari sekian doa yang kau lantunkan untukku, aku masih tak percaya bahwa kau ingat keinginan konyol yang kuutarakan dan kau selipkan di sela-sela pintamu pada Tuhan. Tempo lalu kau ingatkan aku tentang keinginan yang sudah kulupakan bertahun lalu dan kau menantangku untuk mewujudkannya. Dari sekian kealpaanmu tentang dunia, kau masih mengingat celotehanku.

Emak,
terima kasih telah menjadikanku seorang manusia. Maaf, jika aku tak menjadi baikmu. Aku tak ingin mengurai air mata di depanmu, karena aku cintaimu mak. Cinta ini tak akan habis. Tak pernah.




--Jogjakarta, 2 Januari 2011 9:46--
--aku rindu kamu, mak--

pict. source = chillinaris.blogspot.com