I am IDIOT, yes . . . I do



"Don't argue with idiot, karena kalo kita maksain argue sama idiot, yang ada kita yang bakalan mereka seret sampai ke level mereka"


This is not a headline, this is true hot topic.

~~

Penggalan tersebut saya ambil dari sebuah ceritera yang dikisahkan oleh seorang teman ketika beliau menghadap dosen pembimbing untuk meminta tanda-tangan mengenai thesisnya. Wejangan itu benar adanya ketika beliau akhirnya dihadapkan pada situasi yang membelit hati nurani serta ego yang memanas.

Dan saya tidak akan menceritakan apa yang terjadi pada beliau, karena memang bukan itu tujuan saya menulis malam ini. Cukuplah saya sampaikan kepada dunia di mana saya pernah bersemi.

~~

Menjadi seorang penulis memang sebuah langkah yang saya ambil bertahun silam. Awalnya lebih menyenangkan menjadi pujangga perangkai kata gombal. Tapi kecintaan saya yang begitu mendalam pada rajutan kata, membuat saya melangkah dan berpijak pada dunia menulis seutuhnya.

Kelebihan seorang penulis memang tercermin dalam sihir kata. Bagaimana anda kan menangis ataupun terbahak seketika karena sihir kami yang begitu dahsyat. Tapi kelemahan penulis, kami tak mampu memprediksi sampai sedalam apa kisah ini kan bertaut di benak anda dan seperti apa anda kan mengakhiri cerita kami yang selalu sumbang. Prasangka yang muncul setelah memberikan semua idealis yang tertuang dalam barisan makna, seharusnya memang bukan tanggung jawab kami. Tapi apa mau dikata, kepada siapakah pembaca kan mengadu selain hanya pada si penulis?

Bagi saya menulis adalah seni. Dan seni membutuhkan ruh dan jiwa tersendiri. Bila ruh itu telah lepas, seni itu akan berhenti, mentok. Begitu juga yang pernah dialami Keenan (Perahu Kertas - Dewi Lestari).

Ruh yang saya miliki pun masih tergolong muda, lebih cepat goyah karna melangkah bersama kehidupan yang keras (sebagian dari anda mengatakan 'labil'). Dan saya beri nama ruh ini : perasaan. Ketika saya sakit, akan saya katakan sakit dalam sebuah alur yang membuat sebagian anda terpikat dan terlena. Begitu pula jika saya melonjak riang, pasti anda pun akan terserak gempita merasakan aura magisnya.

Hingga detik ini, seringkali saya berhenti menarikan jari di atas tuts-tuts huruf yang tengah menanti. Tak ada kata, tak ada cerita, karena memang tak ada perasaan. Bukanlah hampa, bukanlah absurd. Tapi tak terdefinisikan, sehingga jari ini mau tak mau berbaring lemah di sudut yang berbahaya, tanda kreativitas mati dan kebebasan menulis terabaikan.

Berpuluh kali telah saya hitung, tak hentinya saya ditertawakan, pun pernah muka ini ditampar, bahkan sering pula raga ini dicaci maki atas hasil karya yang berbau nyeleneh sampai nyelekit. Tentu saja, ini karena saya mulai memasukkan hal-hal yang berbau vulgar, frontal, bahkan tabu bagi dunia. Jujur saja, hal ini terkadang membuat saya ragu dan terjatuh lemas.

Kini pun, seketika saya menjadi public figure, ah bukan ... enemy figure tepatnya. Semakin banyak rangkaian huruf yang mengagungkan kevulgaran dan kefrontalan. Sensasi dan euforia selalu tercermin di setiap sudutnya. Padahal jika anda jeli membaca, bukan itu yang saya inginkan. Juga bukan doktrin perubahan yang saya sisipkan. Tapi kejujuran perasaan yang menjadi dasar pada setiap apa yang saya gaungkan. Saya hanya ingin membagi, bukan menyakiti.

Berbalik pada kalimat yang saya garis bawahi di awal cerita. Anggaplah saya ini seorang idiot. Rasanya, saya memang benar-benar idiot ketika menulis. Apalagi jika topik utama bernafaskan tabu yang memburu nafsu alam dunia, saya tak mampu meminta ... tapi, dont argue with me. Karena jika anda memaksakan argue dengan seorang idiot seperti saya, dengan terpaksa saya akan menyeret anda ke sebuah level keidiotan yang saya miliki.






--Djogja, 17 Mei 2010 01:17 am--
--Reaksi memang timbul karena aksi. Begitulah yang saya baca tentang hukum dalam ideologi Fisika yang pernah saya anut. Dan ketika memahami susunan dalam tanda baca yang penuh goresan karat besi, saya pun juga harus mampu memahami reaksi yang sama bahkan bisa jadi lebih besar dari yang saya perkirakan sebelumnya.--