Lelaki pecinta hujan



Nafasku sedikit terisak sebelum memasuki ruangan itu. Rasanya untuk menarik sebuah hirupan membutuhkan tenaga yang begitu besar. Aku tak begitu sanggup melihatnya dalam puncak fase hidupnya di dunia.

Kulihat lelaki ini tampak sangat tenang. Nafasnya sangat teratur, tekanan darahnya baik, suhu tubuhnya pun normal. Kuambil handuk kecil di sampingnya. Sedikit aku basahi dengan air hangat yang sudah mulai dingin karena suhu ruangan kamar VVIP ini. Kuseka dahinya perlahan walau sebenarnya tak ada keringat kepayahan di sana.

"Dey, aku mencintaimu. Tunggu aku di surga nanti yaa." begitu gumamku sambil sesekali kubelai dahi khasnya yang semakin lebar karena dicukur habis oleh perawat di sana.

Sudah dua bulan, lelaki yang kupanggil dengan sebutan kesayangan 'Dey', terbujur kaku tanpa daya. Tiga kali operasi pun tak sanggup membangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Dey kecelakaan dan terbentur di bagian otaknya. Harapan terakhir kami pun kandas ketika dokter menyatakan bahwa batang otak Dey sudah tak berfungsi lagi meskipun jantungnya masih saja berdegup.

Ya, Dey telah mati sebenarnya. Tapi aku sebagai satu-satunya wanita yang teraku sebagai istri syahnya masih saja ragu menandatangani surat kuasa dan pertanggungjawaban untuk mencabut seluruh peralatan yang menempel di tubuhnya, sebab utama Dey masih saja bisa bernafas hingga detik ini.

Setelah menggosok tangannya yang mulai sedikit keriput dengan handuk basah, aku pun mengecup pipi, dahi, hidung, dan terakhir bibirnya. Rutinitas kami berdua ketika masih menjadi pengantin baru dulu. Ah, Dey, aku rindu kecupanmu yang lembut.

Gontai kemudian kulangkahkan kaki ke ruang dokter yang bertanggung jawab untuk kasus Dey. Perawatnya yang menyambutku. Setelah menunggu sebentar aku masuk ke dalam. Sedikit muak ketika melihat berbagai kertas telah berhambur di sisi meja. Kertas itu yang masih menahan hidup Dey saat ini.

"Sudah yakin, bu?" sapaan dokter membuatku terkaget dari lamunku tadi.

"Entah, dok. Tapi ini yang sebaiknya saya lakukan bukan? Aku rasa Dey juga menginginkannya. Sepertinya kulihat Dey tersenyum dok, sekilas tadi."

"Lalu mengenai donor organ, bu?"

"Bisa tolong jelaskan sekali lagi, dok?"

"Ibu yakin??" dan aku pun hanya bisa mengangguk.
"Ada beberapa prosedur dalam berbagai kasus. Tapi untuk kasus kali ini, suami ibu memang memiliki kartu donor sejak muda. Tapi kami menawarkan untuk organ yang lain karena memang ada kasus atas kesepakatan keluarga. Untuk donor mata, kami telah menghubungi pusat. Sudah dilakukan prosedur untuk administrasi dan mereka siap menjemput kapan saja. Sedangkan saat ini kami menawarkan pendonoran untuk organ ginjal, jantung, dan hati. Karena memang masih sangat baik kondisinya saat operasi terakhir. Bagaimana bu?"

"Untuk kebaikan siapapun yang menerima donor itu, dok. Sebaiknya memang begitu."

"Ibu yakin??" aku kembali mengangguk dan kulihat dokter sedang berbincang pelan dengan perawatnya.

"Jika ibu yakin, lusa adalah operasi terakhir. Kami memerlukan administrasi dan persetujuan ibu sebagai kuasa dari pihak keluarga. Dan satu-satunya keluarga yang dimiliki beliau hanyalah ibu seorang, apakah ibu siap?"

Yah, benar. Suamiku anak tunggal dari orang tua yang tunggal juga. Yang kutahu sudah tak ada lagi yang bisa diakui sebagai keluarga. Hanya aku istrinya saat ini, satu-satunya keluarga yang memutuskan hari kematiannya nanti.

Sejenak kemudian, aku diantar ke sebuah ruangan yang sedikit luas. Di sana sudah berjajar beberapa orang berjas putih. Salah seorang mengenalkan sebagai kepala tim dokter yang akan mengurus operasi donor total ini. Kemudian berkas-berkas itu kembali terpapar di depanku. Sedikit gugup kutandatangani satu-persatu setelah penjelasan sedikit rinci tentang beberapa donor ini.

Setelah selesai, aku kembali ke ruangan tempat Dey masih tertidur lelap. Aku genggam jemarinya lembut dan kutempelkan ke pipiku. Air mata yang hangat mengalir sampai ke jemarinya yang keriput. Aku ciumi perlahan dan membisikkan puisi tentang hujan yang selalu Dey sukai.

~~

Pemakaman Dey bertabur hujan. Dey memang lelaki pecinta hujan. Bahkan kami berkenalan ketika hujan turun di halte depan kantorku. Rupanya dia selalu memperhatikanku sejak sekian lama dan saat hujan turun itulah entah keberanian dari mana, Dey meminta nomer telepon genggamku. Tak ada yang istimewa dari Dey, kecuali dia selalu muncul di kala hujan.

Perkenalan pertamanya dengan keluargaku pun juga di saat hujan. Bajunya basah kuyup sampai di rumah. Ibu menyambutnya dengan handuk, ayah menyambutnya dengan rokok untuk menghangatkan diri, dan aku membuatkan teh panas untuk kami berempat. Dey yang akhirnya memakai kaos ayah pun terlihat begitu tampan dan mempesona. Tawanya yang renyah dan wawasannya yang luas membuat ayah dan ibu berani melepasku ketika Dey meminangku.  Tujuh tahun, Dey. Aku hidup bersamamu hingga detik yang lalu. Hanya kita berdua tanpa buah hati yang selalu kita tunggu.

Saat masih mengagumi gundukan tanah basah bertabur mawar putih, terkaget aku ketika pundakku disentuh.

"Rama? Kau datang?"

"Ayo, pulang. Sudah setengah jam kau berdiri di sini. Pelayat terakhir sudah pergi." dan aku pun kembali hanya mengangguk.

~~

"Bukankah kau di Borneo? Maaf, aku tak mengabarimu kemarin." sambil kuletakkan mug berisi teh panas di meja tamu.

"Ya, harusnya begitu. Tapi entah, perasaanku bilang aku harus kembali ke sini. Tak tahunya Dey.." Rama tak menyelesaikan kalimatnya.

Aku pun hanya tersenyum kemudian mengisahkan bagaimana Dey menghembuskan nafas terakhirnya karena kecelakaan dengan truk yang tergelincir licin di jalan tol ketika hujan. Dey memang tidak luka secara fisik, tapi gegar otak parah sampai terakhir dokter mengabarkan tentang kematian batang otaknya.

Setelah aku menghabiskan tissue yang begitu banyak dan kuletakkan begitu saja di meja. Kami berdua hanya terdiam sekian lama sampai Rama mengawali pembicaraan,

"Ratih, sebenarnya aku datang ke sini karena ingin menghajar Dey." Rama terlihat menggantungkan kalimat menunggu reaksiku.

"Dia mengirimkan surat ini, seminggu yang lalu baru aku terima karena aku sibuk tugas keluar kota. Itupun karena surat itu masuk ke kantor bukannya ke rumah." Rama mengulurkan padaku sepucuk surat biru muda.

Aku sendiri hanya memandangi surat itu lama sampai Rama menyuruhku membukanya, "Bukalah, Ratih."


"Untuk sahabatku yang tangguh,
Rama di tempat.

Bagaimana kabar pengusaha sukses ini di Kalimantan sana? Aku yakin kau ini masih saja sibuk membujang. Apa kau masih marah padaku??

Aku tahu, aku sepertinya memang menanggung salah padamu gara-gara peristiwa itu. Jujur saja, aku lebih suka jika kita bertengkar ala anak kecil. Kau menghajarku hingga babak belur sampai puas. Nyatanya, kau lebih memilih diam dan pergi.

Aku sudah lama tahu bahwa kau lebih dulu memendam rasa pada Ratih. Dan Ratih akhirnya memilihku. Sampai pernikahan kami berdua, kau juga tak datang.

Rama, aku tahu aku sangat bersalah merebut cinta pertamamu. Tapi bolehkah aku meminta? Tolong jagalah Ratih. Aku mohon? Aku tak mengerti mengapa aku benar-benar ngotot atas permintaan ini sampai mengirimmu surat segala. Tapi hanya kau yang mampu aku percaya.

Sungguh sebenarnya dulu Ratih pun menaruh hati padamu. Rama, tolonglah?

Bandung, 13 Maret 2009
Sahabatmu, Adey Hendarwan"


Tiga belas maret?? Tanggal yang masih kuingat kuat. Tahun ke-tujuh seharusnya kami merayakan ulang tahun perkawinan. Tapi Dey tak pernah datang ke restoran tempat kami harusnya menghabiskan malam, juga tempat kenangan di mana Dey melamarku dulu. Tentu saja, karna di malam itu juga, mobil Dey ditimpa truk di jalan tol saat hujan itu.

"Rama..." kerongkonganku tercekat, aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tahu Ratih. Aku juga terkejut untuk hari ini. Tapi seperti apa yang diinginkan surat yang ditulis Dey, aku akan menjagamu."

Aku pun terisak lebih lama dan menghempaskan pandangan ke sisi jendela. Hujan kembali menyapa.