kata maaf terakhir




Rumah Devy, 25 Oktober 2009


"Karena itu, aku yakin bahwa aku telah membuat kesalahan fatal. Maaf, Dev?"

"Ya ampuuun. Itu kan kejadian udah waktu kuliah dulu. Its okey, Vina. Lagipula udah 5 taun lalu. Lets move on, dear." sambut Devy sambil menggenggam tanganku dan hanya kubalas sebuah senyuman lega.

---

Pemakaman, 26 Oktober 2009

"Dia membuat daftar ini." ucap Devy sambil menyerahkan berlembar-lembar kertas lusuh.

"Katanya.." hening sebentar Devy menangguhkan kalimat.
"Katanya dia berusaha mengingat yang mampu dia ingat, semuanya dia datangi, satu-persatu. Harus bertemu langsung katanya."

"Pantas dia sibuk belakangan ini." gumam Andre sambil membalik berpuluh-puluh kertas itu.

"Di tempatku kemarin, dia serahkan kertas itu. Katanya tak butuh lagi. Tinggal satu orang, tinggal satu nama yang harus dia datangi..."

"Hanya untuk mengucapkan maaf untuk kesalahan yang bahkan orang lain sudah melupakannya? Benar-benar gila." potong Andre ketus.

"Ndre, cuma tinggal namamu yang belum dia coret."

---

Tepian pantai, 1 Januari 2010

"Mungkin aku bukan puisi
dan angin telah merobekku terbang
melayang sampai ke awan
dan entah kan terhempas sampai mana

Entah kenapa aku sangat berlumpur
terasa noda mengganjal
semua berlapis kabut
hingga tak kusadari menjadi remang

Aku rindu cahaya
bebas dari rasa sakit dan kesalahan
untuk itu kusampaikan satu kata
Maaf, walau sudah tak lagi bermakna."

Kembali Andre membuka halaman pertama dari lembaran-lembaran tulisan Vina. Dia baca satu-persatu nama yang tercantum di sana. Dan kembali dia baca halaman terakhir,

"Siang telah termaktub
dalam helaian surat takdir
di sini ku hela dosa terakhir
dalam nafas maaf yang segera kusampaikan padanya

untuk Lelakiku, Andre,"

Masih berdiri sosok Andre di tepian pantai. Dihela nafasnya dalam-dalam membaca kalimat terakhir,

"Maaf sayang, entah kenapa, aku merasa tak bisa menerima lamaranmu. -Vina-"

Senja semakin merapat malam. Lembaran-lembaran itu diletakkannya begitu saja di tepian pantai, hingga tergerus ombak dan karang terjal, lalu kembali lagi ke laut.

---

Penutup

Di ujung jalan, seorang lelaki telah menanti jawaban, tapi gadis itu telah pergi. Direnggut oleh malaikat maut bersamaan sebuah bis yang menyambutnya ketika langkah kecilnya mencoba menyeberangi jalan besar. Tak pernah ada jawaban, hanya kata maaf terakhir hampir tersampaikan.




--Jogjakarta, 25 Oktober 2010 11:58--
--tanpa penjelasan--

pict. source = photobucket.com

I gone



Langit terlihat sedikit mendung padahal malam hampir tiba. Lampu-lampu jalanan sudah mulai dinyalakan.

Sedikit ragu tersimpul di ujung jariku. Hampir 15 menit hanya kupandangi layar handphone ini. Ada sebaris kata dan sebuah nomor tujuan. Juga masih ada pertanyaan, "send?"

Menit ke 20 lewat sudah. Dengan menutup mata, akhirnya kutekan tombol "yes".

---

"Hei."

"Ah, hei." kagetku.

"Hmm, udah pesan minum?" tanyamu.

"Enggak lihat apa ada jus jeruk hampir habis di depanku? Lama banget sih. Kirain enggak bakal dateng," manjaku.

"Aku pesen minum dulu ya." jawabmu singkat sambil berlalu ke arah meja barista.

Kupandangi kau yang berjalan ke arahku dengan senyuman mengembang.

"Pesan apa?" basiku.

"Biasa. Hazzelnut mochalatte." jawabmu sambil menahan mataku ke arahmu.
"Enggak pesan lagi kamu?"

"Enggak ah. Mau ngomong langsung aja sekarang."

"Ngomong aja," potongmu.

"Hubungan kita mau dibawa ke mana?" tanyaku pelan.

Kau terlihat kaget dan berusaha untuk menguasai dirimu sendiri. Mungkin kau sedang menyusun jawaban.

"Maaf," ucapmu sangat lirih.

Hening di antara kita. Kuhela nafas sedalam-dalamnya.

"So I should have gone," tatapku tajam sambil menunggu reaksimu.
"I gone," tegasku kemudian sambil bangkit berdiri dari kursi yang mulai terasa panas.

"Mau ke mana?" tanyamu sambil meraih tanganku.
"Duduklah dulu sebentar."

"Untuk apa, Awan?"

"Friend, may be?" ragumu.

"No, thanks," kutepis tanganmu dan pergi berlalu.

---

Kumasuki kamar yang sudah 4 tahun ini sering kudatangi. Kulepas high-heelsku dan kulempar begitu saja ke pojokan. Kurebahkan segera tubuhku ke kasur empuk di sana.

"Pulang-pulang kok gak cuci kaki sih?"

"Biar," jawabku sekenanya.

"Habis dari mana hunney-ku ini?" beralihmu dari meja komputer ke atas kasur dan menindihku.

"Nyobain cafe sama si Awan tadi pulang kantor."

"Hmm, temen divisi sebelahmu itu?" kau belai hidungku pelan.

Kuanggukkan kepalaku malas. Kau memandangku lama, lalu memagutku pelan.

"Nis," panggilmu.

"Kenapa Fion?" panggilan mesraku untukmu.

Kau berdiri dan mengambil sesuatu di laci meja komputermu.

"Will you marry me?"

Kau tunjukkan sebuah cincin mungil nan cantik dan aku hanya mampu meneguk ludahku sendiri, tak tahu harus menjawab apa. Karena bisa jadi, Fion adalah lelaki keempat malam ini yang bakal kuputus hubungannya. Pacarku ada tujuh.

---


--Jogjakarta, 13 Oktober 2010 23:14--
--konyooolll, cerita nakal euih--


pict. source = photobucket.com