Let me be your hard, hurt, and heart ever after



Kukemas netbook milikku. Kuseret tubuhku dari perpustakaan besar ini. Aku sudah terlalu penat untuk mengerjakan separuh pekerjaan yang membutuhkan studi pustaka. Pekerjaanku memang freelance di beberapa perusahaan, tepatnya sebagai asisten. Bosku yang umurnya masih 40 taunan itu mengajakku bergabung. Kalau ditotal hanya ada 5 orang karyawan di bawah naungan bos.

Aneh memang, sudah bergabung 1,5 taun masih saja mengerjakan proyek dengan beberapa contoh kasus yang kuambil di perpustakaan favoritku itu. Almamaterku ini memang memberi hak khusus para alumninya untuk mengakses penuh isi perpustakaan. Walau begitu, bosku tak pernah complain dengan hasil yang kusetorkan. Malah dibilang puas karena biasanya aku berikan beberapa advice yang berasal dari beberapa informasi terkini yang sangat berguna bagi perusahaan yang bersangkutan.

Harusnya tepat pukul 3 siang ini aku bersama bos, mempresentasikan hasil proyek yang berkaitan dengan lingkungan perusahaan yang menggunakan jasa kami. Tapi pesan singkat bos yang masuk ke hapeku pukul 1 siang tadi akhirnya menunda langkahku ke sana. Meeting kami dibatalkan ternyata.

Setelah keluar dari perpustakaan, begitu melihat langit yang mendung, rasanya malas pulang ke kontrakan. Ingin kulepaskan penatku akibat membaca 3 textbook tebal mengenai finansial perusahaan. Kuputuskan pakai taksi saja di ujung jalan sana.

"Norbess cafe, Pak."

~~

Sampai di sana, masih sepi saja rupanya walau cafe sudah buka sejak pukul 11 tadi. Tapi aku selalu menyukai tempat yang sepi. Nyaman dan tenang rasanya menjadi diri sendiri tanpa harus mengeluarkan karakter dan mempertahankan ideologi saat berbincang.

Kupesan hot chocolate mocha dan banana pizzarela kesukaanku. Bayangkan saja pizza bertopping pisang yang sungguh manis dan keju mozzarella tak lupa kehadiran ice cream vanilla di atasnya. Yummi, sekali mencoba jadi ketagihan.

Kukeluarkan netbook tercinta meneruskan browsing mengenai harga saham terbaru dan beberapa berita ekonomi nasional. Kusimpan beberapa artikel untuk dibaca nanti di kamar. Rasanya begitu asyik menikmati suguhan grafik yang naik turun seirama menit. Alih-alih berharap rupiah menguat agar beberapa proyekku nanti lancar tanpa hambatan.

Pesananku datang bersama seorang lelaki tampan. Sayangnya dia amat muda.

"Selamat menikmati." begitu sapa lembutnya.

"Terima kasih." senyumku pun hadir seiring dia berbalik pergi melayani tamu yang lain.

Bau yang tercium dari banana pizzarela milikku ini sungguh menggelitik hidung. Kualihkan pandanganku sebentar ke arah jendela. Sudah hujan deras ternyata. Walau di tempat dudukku tak bakal basah, tapi aku memilih menikmati hujan dengan menyeruput hot chocolate mocha. Kuamati rintik yang terkadang menipis melalui jendela besar sedikit gelap itu. Kulihat ada seseorang di ujung jendela sana mengamatiku atau mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif pada lingkungan. Bau harum pisang yang masih hangat kembali menarik monyong bibirku untuk melirik nakal pada pizzarela. Kulihat dengan sorot penasaran, sosok yang mengamatiku tadi tertawa sepertinya melihat tingkahku. Ahh, apakah aku salah duga? Tak ambil pusing langsung kuambil garpu dan pisau di samping. Aku lebih peduli pada perut gemerucukku.

Baru separuh kuhabiskan, aku kembali pada netbook. Kebiasaanku memang tak langsung menghabiskan makanan kalau sedang begini. Kukeluarkan rokok dari dalam tas dan kunyalakan satu batang. Kulirik sosok berkemeja merah muda tadi, agaknya ekspresinya kali ini mencerminkan tak kesukaannya bercampur kaget melihat seorang wanita muda merokok di depannya. Aku kembali tak ambil pusing, toh aku tak mengganggu siapapun di meja ini. Pun meja yang kupilih memang untuk smoking area.

Kali ini kukeluarkan buku finansial publik yang tadi kupinjam. Kubuka beberapa lembar dan kucatat dalam notesku. Aku masih menyukai ritual ini padahal sudah bertahun-tahun lalu kutanggalkan status kemahasiswaanku. Sesekali kusandarkan pundakku yang rasanya sedikit pegal dan tak lupa kucomot perlahan pizzarela yang masih menggoda.

"Boleh mengganggu?"

Aku terkejut sapaan barusan. Sosok lelaki berkemeja merah muda tadi kini di hadapanku dan menyapa.
"Ah, maaf ?? Kita pernah bertemu ?"

Sosok tadi malah membalas hangat dengan sebuah senyuman
"Ya, tadi. Sesaat setelah hujan turun. Pandangan anda bertemu dengan saya. Boleh kita berkenalan ?"

Aku yang masih saja terkaget berusaha keras menguasai emosiku sendiri. Jarang-jarang aku mau berkenalan di tempat umum, tapi agaknya pada lelaki ini aku kecualikan.
"Boleh. Anda siapa?"

"Panggil Tommy saja. Anda ?"

"Sarah."

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya.

"Ah, silahkan."

"Kalau begitu saya ambil barang saya dulu di sana." senyum manisnya masih saja muncul di lekuk bibirnya. Hah, Sarah. Apa yang kau lakukan?

Aku kembali mengamatinya di ujung meja sana. Dia hanya mengambil jas dan secangkir gelas miliknya. Dari aromanya yang mendekat aku tau itu kopi robusta, tapi aku tak tahu dia pesan campuran yang mana. Masih sambil tersenyum dia pun duduk di depanku. Kusingkirkan beberapa barang-barangku di meja, tapi dia mencegahku.

"Tak apa-apa. Biarkan saja."
"Em, kuperhatikan tadi kau sedang asyik dengan buku dan netbookmu."

"Ah ya. Aku sedang mengumpulkan beberapa berita tentang ekonomi dan finansial negeri ini."

"Kau penulis berita?" tanyanya lugas.

"Hahhaa. Memangnya aku terlihat seperti itu?" tanyaku kembali padanya.

Sambil mengernyitkan mata agaknya dia sedang berpikir sebentar, "Tidak, aku rasa. Tapi bisa jadi bukan?"

"Ya, kau benar. Aku hanya penikmat berita."

Obrolan kami pun berlanjut pada sekitar berita tanah air. Awal mulanya cuma ekonomi, lama-lama bahasan meluas sampai ke politik bahkan kebudayaan.

Lelaki berkemeja merah muda ini ternyata bekerja di sebuah perusahaan yang akan kudatangi pukul 3 siang ini kalau saja meeting itu tidak dibatalkan. Begitu kutanya apa bidangnya, agak kecewa karena dia hanya bilang masih penempatan dan training. Bebas sekali pikirku, jam segini masih kelayapan di luar dan santai-santai di cafe. Tapi aku kembali tak ambil pusing karena memang bukan urusanku.

"Kau tadi merokok ya?"

"Hmm, ya. Kau memperhatikan?" basa-basi benar aku ini.

"Enak tidak??" aku hanya melongo ketika dia menanyakan ini.

"Hmm, enak sih tidak. Aku merokok hanya untuk melepas penat. Kubiarkan penat itu melayang di udara bersama asap tembakau ini. Kau sendiri merokok?" tanyaku.

Dia hanya menggeleng, tapi kukejar sampai akhir, "Pernah merokok ?"

Dia kembali menggeleng dan aku pun tertegun, "Kenapa? Kau tak pernah mencoba merokok, Tom?"

"Aku tak suka, dulu ibuku perokok." singkatnya dan aku pun tak berusaha mengejar jawaban lagi, kulihat dia jengah dengan percakapan ini.

"Ah, hujan sudah reda, Ndra. Aku balik ke kantor dulu ya." aku mengangguk.

Dia pun menghilang di balik gerimis dan aku kembali sibuk pada grafik saham yang masih naik turun seiring menit.

~~

Beberapa hari setelahnya, aku kembali ke Norbess Cafe. Bosan aku di rumah menghadap ribuan data yang harus kuolah. Tak lupa kumasukkan rokok kesayanganku dan dompet ke dalam tas. Kuambil kunci Honda Jazz putih dan kunci rumah.

Sampai di sana masih saja sepi. Bisa jadi karena hujan atau memang orang-orang masih belum berniat pergi kemari pukul 4 sore ini. Aku pun memilih duduk di pinggir jendela. Setelah memesan menu kesukaan, kukeluarkan rokokku dan kunyalakan sebatang.

"Tidak bergumul dengan berita?" sentuhan di pundakku itu membuatku kaget.

"Tommy ??" yang disapa hanya nyengir kuda.
"Pulang kantor, Tom?" dia pun duduk di depanku tanpa permisi.

"Hmm, ya. Begitulah. Sudah pesan?" dan aku pun mengangguk sejurus kemudian dia memanggil pelayan dan memesan secangkir romeo coffelate, setahuku campuran kopi robusta dan susu juga sedikit krim.

Perbincangan kali ini pun sampai malam. Sampai kami diusir secara halus oleh pemilik cafe dengan mematikan lampu dan sound ruangan.

Tak kusangka Tommy mengajakku berkeliling kota sebelum berpisah. Kutitipkan mobilku di parkiran terdekat dan masuk ke mobil Tommy. Sedikit aneh bagiku karena benar-benar baru sekali ini, aku mau-maunya keluar bersama orang yang baru kukenal 2 kali. Tapi entah rasa nyaman dan aman itu menutupi seluruh rasa anehku pada kejadian ini.

~~

"Sandrooo, nanti kau sama Pirman ya temani aku meeting yang ditunda pekan lalu." hih, bosku memang suka mengganti-ganti nama orang.

Siang ini aku memang pergi ke kantor yang bersambung jadi satu dengan rumah si bos. Ruangan sederhana milik kami berlima, hanya tempat singgah berkas-berkas milik beberapa perusahaan bercampur berkas presentasi kami.

"Jam brapa boszhi?" saking sebalnya nama bos pun kuganti boszhi padahal aku sendiri tak tau artinya, tapi biarlah.

"Habis ini, kau siap-siap yaa."

"Ah, pak bos memang suka mendadak." gerutuku.

"Hahhaaaha, kau ini masih muda nak. Terbiasalah dengan yang tua ini. Oh ya, kau yang setir ya, sudah tua nih. Ndak kuat jantungku kalo naek Pirman, nyetirnya kayak orang mabok." aihh, enaknya dia melantur.

~~

Sesampai di perusahaan, kami diminta menunggu sebentar. Kantor yang minimalis tapi asri. Aku suka suasananya. Apalagi kebanyakan dinding terbuat dari kaca, membuat sinar matahari yang nyalat itu masuk. Hangat rasanya. Lukisan-lukisan yang menghias beberapa dinding pun juga tak kalah menyambut kami yang masih saja menunggu sekretaris perusahaan mempersilahkan kami masuk ke ruang meeting.

Tak lama kemudian, kami diantarkan ke lantai 2 dan masuk ke sebuah ruangan berpintu merah. Sampai di dalam agaknya kagetku tak berhenti. Di dalam sana tentu saja ada Tommy. Memang Tommy pernah bercerita di awal pertemuan kami kalau dia bekerja di sini. Tapi aku yakin, kursi yang diduduki Tommy tak lain adalah kursi direktur utama.

Sekretaris perusahaan pun mengenalkan pada kami bertiga.

"Ini bapak Tommy Soetjokro, direktur utama kami. Beliau baru diangkat minggu lalu atas keinginan dirut sebelumnya. Karena itu kemaren rapat mendadak cancel. Kemudian bapak-bapak di hadapan anda ini adalah dewan direksi kami."

Sepertinya kisah ini akan semakin panjang. Tertundukku selintas melihat cincin emas putih yang melingkar di salah satu jari manisku. Tadi malam Tommy melamarku dengan syarat kutinggalkan hembusan asap rokokku dan menggantikannya dengan satu hal yang akan dia berikan saat perkenalannya dengan keluargaku nanti. Keanehan ini masih berlanjut dan menjadi misteri bagiku karena tadi malam tak tau energi dari mana, kuanggukkan mantap, "Let me be your hard, hurt, and heart ever after."



ps. Life is a maze and love is riddle, and why?

Aku tak ingin Anakku terlahir Perempuan



"Sudah berapa lama, No?"

"4 bulan."

"Kau yakin dia ayahnya?"

"Hmm, cuma dia Pi." sahutku melemas.

~~

Lamunku melayang ke beberapa bulan lalu. Ketika bertemu sosok yang sangat teduh. Rafi yang lembut dan selalu menjadi guru favorit di antara anak-anak didiknya di bimbingan belajar depan tempat kerjaku. Bimbel itu sendiri baru berdiri, namanya masih asing di telingaku. Atau mungkin karna aku sendiri anak rantau baru di kota ini, jadi aku tak tahu-menahu tentang seluk beluk dunia kerjanya itu.

Kami pun berkenalan pertama kali di warteg dekat tempat kerja. Keadaan warteg yang memang penuh, menjadikan dia kelimpungan mencari tempat duduk. Aku sendiri duduk berdua dengan temanku dan dia datang ke meja kami, sejurus kemudian bertanya apakah dia boleh duduk di meja kami.

Dia sebutkan namanya dan bercerita tentang kerjaannya. Umurnya sendiri masih muda, sekitar 26 taun mungkin. Setelah menghabiskan makan siang, kami pun berbincang sebentar dan akhirnya memutuskan kembali ke kerjaan.

Pertemuan kedua, warteg memang tidak penuh. Aku memilih makan di ujung ruangan sendiri. Tak tahunya Rafi tiba-tiba menyapaku dan mau tak mau kami pun jadi makan berdua. Setelah selesai, Rafi menawarkan bertukar nomor telepon genggam.

~~

Baru saja sampai di depan meja kerjaku, ada sms masuk.

"Cuma ngecek, nomer yang kau berikan ini punyamu atau ayahmu. :D"

Langsung kubalas saja

"Jangan macam-macam sama anak saya ya :p"

Tak berapa lama, Rafi juga membalas

"Cuma disenggol dikit kok, Om. Boleh tidak?"

Aku yang iseng karena beberapa teman kerja memang belum kembali ke kantor, masih saja mencoba membalas

"Apanya yang mau disenggol ?"

Agak lama dia tak membalas. Hampir saja kumasukkan hapeku ke tas sebelum getar telepon itu membuat mataku sedikit mengernyit

"Halo, Rafi??"

"Emm,,, " suaranya sedikit tertahan.
"Kalau boleh sih disenggol hatinya. Hehhee."

"Emm, Eno, udah dulu ya. Aku harus masuk nih, anak-anak udah pada nunggu. Nanti malem terusin lagi yaa." telepon pun ditutup.

Aku pun dibuat bengong setelahnya. Baru juga bertemu dua kali, masa mau bermain hati, begitu pikirku. Jadinya kuanggap angin lalu. Tak tahunya setelah kejadian itu, kami malah semakin sering bertelepon. Makan siang juga lebih sering berdua. Sampai suatu hari, dia utarakan mau main ke kosku.

Semakin hari kami pun semakin mesra. Tapi tak pernah terbersit di perbincangan kami tentang komitmen ataupun status pacaran. Lucunya, kami sudah punya panggilan sayang dan sering bilang suka. Akhir minggu, beberapa kali kami habiskan pergi ke luar kota berdua. Hanya sekedar ke tempat-tempat wisata dan berfoto narsis sana-sini. Tak terasa sudah dua bulan kami bersama.

Suatu hari di akhir minggu, Rafi mengajakku main ke kontrakannya. Sampai di sana ternyata sepi. Rafi baru bilang kalau teman-teman satu kontrakan yang jumlahnya cuma 3 orang itu sering nongkrong di luar sampai dini hari. Kutengok jam tanganku, pukul tujuh. Kuajak Rafi makan malam di luar, tapi dia menolak. Dia bilang mau makanan yang dimasak olehku. Akhirnya aku mengalah, aku memasak dengan bahan-bahan yang ada di sana.

Memang romantis. Kami serasa sudah hidup satu rumah saja. Rafi sangat perhatian apalagi ketika tanganku kecipratan minyak panas. Dia langsung menghamburkan punggung tanganku ke air dingin. Begitu juga ketika makan, Rafi menyuapiku.

Setelah makan, kami nonton tivi di ruang tengah. Dia belai lembut rambutku. Aku pun tak mau kalah bermanja padanya. Kusandarkan kepalaku ke dadanya sambil menggenggam tangannya. Tak kusangka, Rafi berbisik padaku.

"Eno, aku mau kamu malam ini."

Aku yang sudah 22 tahun ini tentu sudah tau apa maksudnya. Kulihat Rafi lama. Ingin kulancarkan aksi protes. Tapi sebelum kuutarakan satu kata, tau-tau Rafi sudah mengecup bibirku. Awalnya lembut, tapi makin lama aku sendiri kelabakan. Kudorong tubuhnya menjauh.

"Raf, aku belum siap." begitu hardikku.

"Eno, cintakah kau padaku selama ini? Kau tak mau buktikan cinta dan tulusmu? Aku mau buktikan padamu. Aku ini tulus dan cinta kamu Eno."

"Kalau aku sampai hamil?" potongku.

"Aku akan jadi ayah anakmu. Dan kau akan jadi ibu anakku, sayang." kemudian dia kecup jemariku.
"Bagaimana?"

Akhirnya aku pun mengalah. Dan kami menghabiskan malam syahdu itu berdua saja di kontrakan.

~~

"Kau ini kenapa bisa sih??"

"Aku tak tahu, Pi."

Arpi adalah teman kantorku yang bertemu dengan Rafi saat kami di warteg dulu. Dia juga sahabat terbaikku sampai saat ini.

"Udah cek ke bimbelnya?"

Aku pun mengangguk lemas, "Kata orang sana, dia tiba-tiba mengundurkan diri dan tak pernah muncul lagi sejak 2 minggu lalu. Nomernya juga tidak bisa dihubungi. Datanya yang ada di bimbel juga tidak bisa diakses. Buntu, Pi."

"Keluarganya? Teman kontrakannya?"

Kini aku menggeleng, "Nihil. Aku tak pernah bertemu satu pun keluarganya, seingatku dia juga tidak pernah cerita tentang keluarganya. Teman kontrakannya juga tidak tahu apa-apa."

"Aduh, Enoooo !!! Awas ya lelaki itu kalau ketemu !!" sepertinya Arpi juga sedikit mangkel.

"Satu-satunya yang ditinggal ya alamat ini, Pi."

"Kau mau ke sana??" tanya Arpi.

Aku cuma mengangguk.

~~

Setelah mengepak barang seadanya, aku dibantu Arpi ke terminal. Dia melepasku dengan ketidaktegaan. Maunya Arpi juga ikut, tapi kerjaan di kantor sedang menumpuk. Kerjaanku sendiri juga diambil alih olehnya.

"Kutunggu kabar baik ya, Eno. Kau harus tegas sama lelaki itu. Kalau ada apa-apa di sana, pokoknya hubungi aku. Nanti kalau sudah sampai di sana, jangan lupa hubungi Aren juga. Biar dia yang mengantarmu ke mana-mana."

Aren adalah adik lelaki Arpi. Untungnya kota yang kutuju ini, aku tak bakal kelimpungan mencari alamat sendirian. Aren sudah lama tinggal dan bekerja di Malang.

Enam jam membuat tubuhku sedikit pegal di sana-sini. Tapi pegal itu hilang ketika aku sudah melihat tugu selamat datang. Memang masih agak lama sampai ke terminal, tapi paling tidak aku sebaiknya menghubungi Aren.

Dijemput aku oleh Aren dan diantarkan ke kontrakannya yang sederhana. Katanya, Aren tinggal sendiri. Dia menyuruhku untuk istirahat hari ini dan mencari alamatnya besok saja. Setelah meminta alamatnya padaku, Aren menghilang sampai pagi. Dia hanya meninggalkan makan malam dan sepucuk pesan 'selamat istirahat' di meja makan.

~~

Esok paginya, Aren bilang sudah tahu daerah yang dituju. Tapi belum yakin yang mana alamat pastinya. Aku pun diantarkan ke sana. Rafi, semoga kau ada di sana.

Setelah berputar-putar agak lama, akhirnya kami menemukan sebuah rumah kecil. Persis seperti di alamat. Tapi rasanya mataku tak salah tangkap, rumah itu kosong. Akhirnya kami bertanya ke tetangga kanan kiri, siapa sebenarnya pemilik rumah ini dan di mana Rafi.

Hampir setiap tetangga yang kutemui bilang kalau si pemilik rumah sudah pindah setelah menikah. Begitu kutanya tentang Rafi, tidak ada yang tahu. Si pemilik rumah bernama Axcel. Berkali-kali kutanya pada beberapa tetangga, akhirnya kudapatkan alamat baru Axcel. Kami pun ke sana esok harinya karna tubuhku sendiri sudah lemas bukan kepalang. Aku kembali mual sejak pagi.

Agak sore kami berangkat karna Aren seharian harus menyelesaikan kerjaannya dulu. Alamat itu mudah sekali ditemukan. Yang tak kusangka, aku menemukan Rafi sedang berjalan ke sebuah rumah. Rumah yang memang sedang kutuju. Dia sapa beberapa tetangga yang dilaluinya. Kemudian seorang perempuan manis keluar dari rumah itu. Mereka menghambur berpelukan dan mengecup pipi selintas.

Aku sedikit bimbang. Sepertinya itu memang rumahnya, sepertinya Axcel adalah Rafi dan Rafi adalah Axcel. Dalam kebimbangan, kulihat Rafi keluar dari rumah sambil menggendong seorang anak berumur satu tahunan. Menyusul kemudian perempuan manis itu. Terlihat Rafi bermain-main dengan anak itu dengan riangnya, tak lupa sesekali dia kecup perempuan itu.

Mataku panas, air mataku menetes satu-satu. Aren menyentuh pundakku ragu.

"Mau ke sana mbak?"

Setelah kuredakan emosiku, kukatakan pada Aren untuk menunggu di ujung jalan saja tempat sedari tadi kami berhenti. Lalu, kulangkahkan kakiku perlahan ke arah rumah itu. Kuambil nafas berat sebelum aku berhenti tepat di depan rumahnya.

Kuputuskan untuk membunyikan bel, walau kutahu mereka sebenarnya ada di halaman rumah. Begitu pagar dibuka, Rafi kaget bukan kepalang.

"E...Eno ??"

Dengan intonasi yang kubuat sebaik mungkin, memang tak bisa kupungkiri bahwa marahku sebenarnya mau meledak

"Raf ... kau memang ayah anakku. Aku juga ibu anakmu. Tapi aku tak pernah berharap anakku terlahir perempuan.."

sedikit kutahan emosiku, ".. Biar dia tak perlu mencari-cari walinya saat dia menikah nanti. Biar dia tak pernah kenal ayahnya. Anakku yang sedang kukandung ini, , ,anakmu Raf."

Kemudian aku berbalik dan berjalan mantap. Kudengar perkelahian di belakangku dan Rafi memanggilku berkali-kali. Tapi aku memilih . . . pergi.

"Sudah mba?" tanya Aren sewaktu kudekati.

"Sudah, Ren. Ayo kita pulang. Urusan sudah selesai." anggukku mantap.



ps. Cerita ini terinspirasi oleh kisah yang dituturkan salah seorang pendengar saat aku masih menjadi admin blog sebuag radio di Jogja. Cerita ini memang fiktif, tapi terinspirasi oleh sebuah kisah nyata.

photo source : photobucket.com

Lelaki pecinta hujan



Nafasku sedikit terisak sebelum memasuki ruangan itu. Rasanya untuk menarik sebuah hirupan membutuhkan tenaga yang begitu besar. Aku tak begitu sanggup melihatnya dalam puncak fase hidupnya di dunia.

Kulihat lelaki ini tampak sangat tenang. Nafasnya sangat teratur, tekanan darahnya baik, suhu tubuhnya pun normal. Kuambil handuk kecil di sampingnya. Sedikit aku basahi dengan air hangat yang sudah mulai dingin karena suhu ruangan kamar VVIP ini. Kuseka dahinya perlahan walau sebenarnya tak ada keringat kepayahan di sana.

"Dey, aku mencintaimu. Tunggu aku di surga nanti yaa." begitu gumamku sambil sesekali kubelai dahi khasnya yang semakin lebar karena dicukur habis oleh perawat di sana.

Sudah dua bulan, lelaki yang kupanggil dengan sebutan kesayangan 'Dey', terbujur kaku tanpa daya. Tiga kali operasi pun tak sanggup membangunkan dari tidurnya yang nyenyak. Dey kecelakaan dan terbentur di bagian otaknya. Harapan terakhir kami pun kandas ketika dokter menyatakan bahwa batang otak Dey sudah tak berfungsi lagi meskipun jantungnya masih saja berdegup.

Ya, Dey telah mati sebenarnya. Tapi aku sebagai satu-satunya wanita yang teraku sebagai istri syahnya masih saja ragu menandatangani surat kuasa dan pertanggungjawaban untuk mencabut seluruh peralatan yang menempel di tubuhnya, sebab utama Dey masih saja bisa bernafas hingga detik ini.

Setelah menggosok tangannya yang mulai sedikit keriput dengan handuk basah, aku pun mengecup pipi, dahi, hidung, dan terakhir bibirnya. Rutinitas kami berdua ketika masih menjadi pengantin baru dulu. Ah, Dey, aku rindu kecupanmu yang lembut.

Gontai kemudian kulangkahkan kaki ke ruang dokter yang bertanggung jawab untuk kasus Dey. Perawatnya yang menyambutku. Setelah menunggu sebentar aku masuk ke dalam. Sedikit muak ketika melihat berbagai kertas telah berhambur di sisi meja. Kertas itu yang masih menahan hidup Dey saat ini.

"Sudah yakin, bu?" sapaan dokter membuatku terkaget dari lamunku tadi.

"Entah, dok. Tapi ini yang sebaiknya saya lakukan bukan? Aku rasa Dey juga menginginkannya. Sepertinya kulihat Dey tersenyum dok, sekilas tadi."

"Lalu mengenai donor organ, bu?"

"Bisa tolong jelaskan sekali lagi, dok?"

"Ibu yakin??" dan aku pun hanya bisa mengangguk.
"Ada beberapa prosedur dalam berbagai kasus. Tapi untuk kasus kali ini, suami ibu memang memiliki kartu donor sejak muda. Tapi kami menawarkan untuk organ yang lain karena memang ada kasus atas kesepakatan keluarga. Untuk donor mata, kami telah menghubungi pusat. Sudah dilakukan prosedur untuk administrasi dan mereka siap menjemput kapan saja. Sedangkan saat ini kami menawarkan pendonoran untuk organ ginjal, jantung, dan hati. Karena memang masih sangat baik kondisinya saat operasi terakhir. Bagaimana bu?"

"Untuk kebaikan siapapun yang menerima donor itu, dok. Sebaiknya memang begitu."

"Ibu yakin??" aku kembali mengangguk dan kulihat dokter sedang berbincang pelan dengan perawatnya.

"Jika ibu yakin, lusa adalah operasi terakhir. Kami memerlukan administrasi dan persetujuan ibu sebagai kuasa dari pihak keluarga. Dan satu-satunya keluarga yang dimiliki beliau hanyalah ibu seorang, apakah ibu siap?"

Yah, benar. Suamiku anak tunggal dari orang tua yang tunggal juga. Yang kutahu sudah tak ada lagi yang bisa diakui sebagai keluarga. Hanya aku istrinya saat ini, satu-satunya keluarga yang memutuskan hari kematiannya nanti.

Sejenak kemudian, aku diantar ke sebuah ruangan yang sedikit luas. Di sana sudah berjajar beberapa orang berjas putih. Salah seorang mengenalkan sebagai kepala tim dokter yang akan mengurus operasi donor total ini. Kemudian berkas-berkas itu kembali terpapar di depanku. Sedikit gugup kutandatangani satu-persatu setelah penjelasan sedikit rinci tentang beberapa donor ini.

Setelah selesai, aku kembali ke ruangan tempat Dey masih tertidur lelap. Aku genggam jemarinya lembut dan kutempelkan ke pipiku. Air mata yang hangat mengalir sampai ke jemarinya yang keriput. Aku ciumi perlahan dan membisikkan puisi tentang hujan yang selalu Dey sukai.

~~

Pemakaman Dey bertabur hujan. Dey memang lelaki pecinta hujan. Bahkan kami berkenalan ketika hujan turun di halte depan kantorku. Rupanya dia selalu memperhatikanku sejak sekian lama dan saat hujan turun itulah entah keberanian dari mana, Dey meminta nomer telepon genggamku. Tak ada yang istimewa dari Dey, kecuali dia selalu muncul di kala hujan.

Perkenalan pertamanya dengan keluargaku pun juga di saat hujan. Bajunya basah kuyup sampai di rumah. Ibu menyambutnya dengan handuk, ayah menyambutnya dengan rokok untuk menghangatkan diri, dan aku membuatkan teh panas untuk kami berempat. Dey yang akhirnya memakai kaos ayah pun terlihat begitu tampan dan mempesona. Tawanya yang renyah dan wawasannya yang luas membuat ayah dan ibu berani melepasku ketika Dey meminangku.  Tujuh tahun, Dey. Aku hidup bersamamu hingga detik yang lalu. Hanya kita berdua tanpa buah hati yang selalu kita tunggu.

Saat masih mengagumi gundukan tanah basah bertabur mawar putih, terkaget aku ketika pundakku disentuh.

"Rama? Kau datang?"

"Ayo, pulang. Sudah setengah jam kau berdiri di sini. Pelayat terakhir sudah pergi." dan aku pun kembali hanya mengangguk.

~~

"Bukankah kau di Borneo? Maaf, aku tak mengabarimu kemarin." sambil kuletakkan mug berisi teh panas di meja tamu.

"Ya, harusnya begitu. Tapi entah, perasaanku bilang aku harus kembali ke sini. Tak tahunya Dey.." Rama tak menyelesaikan kalimatnya.

Aku pun hanya tersenyum kemudian mengisahkan bagaimana Dey menghembuskan nafas terakhirnya karena kecelakaan dengan truk yang tergelincir licin di jalan tol ketika hujan. Dey memang tidak luka secara fisik, tapi gegar otak parah sampai terakhir dokter mengabarkan tentang kematian batang otaknya.

Setelah aku menghabiskan tissue yang begitu banyak dan kuletakkan begitu saja di meja. Kami berdua hanya terdiam sekian lama sampai Rama mengawali pembicaraan,

"Ratih, sebenarnya aku datang ke sini karena ingin menghajar Dey." Rama terlihat menggantungkan kalimat menunggu reaksiku.

"Dia mengirimkan surat ini, seminggu yang lalu baru aku terima karena aku sibuk tugas keluar kota. Itupun karena surat itu masuk ke kantor bukannya ke rumah." Rama mengulurkan padaku sepucuk surat biru muda.

Aku sendiri hanya memandangi surat itu lama sampai Rama menyuruhku membukanya, "Bukalah, Ratih."


"Untuk sahabatku yang tangguh,
Rama di tempat.

Bagaimana kabar pengusaha sukses ini di Kalimantan sana? Aku yakin kau ini masih saja sibuk membujang. Apa kau masih marah padaku??

Aku tahu, aku sepertinya memang menanggung salah padamu gara-gara peristiwa itu. Jujur saja, aku lebih suka jika kita bertengkar ala anak kecil. Kau menghajarku hingga babak belur sampai puas. Nyatanya, kau lebih memilih diam dan pergi.

Aku sudah lama tahu bahwa kau lebih dulu memendam rasa pada Ratih. Dan Ratih akhirnya memilihku. Sampai pernikahan kami berdua, kau juga tak datang.

Rama, aku tahu aku sangat bersalah merebut cinta pertamamu. Tapi bolehkah aku meminta? Tolong jagalah Ratih. Aku mohon? Aku tak mengerti mengapa aku benar-benar ngotot atas permintaan ini sampai mengirimmu surat segala. Tapi hanya kau yang mampu aku percaya.

Sungguh sebenarnya dulu Ratih pun menaruh hati padamu. Rama, tolonglah?

Bandung, 13 Maret 2009
Sahabatmu, Adey Hendarwan"


Tiga belas maret?? Tanggal yang masih kuingat kuat. Tahun ke-tujuh seharusnya kami merayakan ulang tahun perkawinan. Tapi Dey tak pernah datang ke restoran tempat kami harusnya menghabiskan malam, juga tempat kenangan di mana Dey melamarku dulu. Tentu saja, karna di malam itu juga, mobil Dey ditimpa truk di jalan tol saat hujan itu.

"Rama..." kerongkonganku tercekat, aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku tahu Ratih. Aku juga terkejut untuk hari ini. Tapi seperti apa yang diinginkan surat yang ditulis Dey, aku akan menjagamu."

Aku pun terisak lebih lama dan menghempaskan pandangan ke sisi jendela. Hujan kembali menyapa.

Bulan yang sama


"Romantis sekali kau ini."

Kata-kata yang diluncurkan oleh seseorang yang sedari tadi masih menatap langit, mau tak mau membuatku tertegun. Sulit ku mencari sebaris kalimat setelahnya. Akhirnya senyuman tipis kukeluarkan untuk mengisi keheningan ini.

"Percaya tidak? Aku suka orang romantis," sambungnya.

Kukerutkan mataku seketika. Aku tak mengerti mengapa dia membelokkan perbincangan tentang rembulan menjadi perbincangan tentang keromantisan. Rasa jengkel karena bahasan yang tiba-tiba melenceng ini membuat sifat tak mau kalahku pun muncul seketika.

"Lalu mengapa kau tak menjadi orang yang romantis. Bukankah nanti, kau jadi lebih suka pada dirimu sendiri?"

Sepertinya pertanyaanku mengusik imajinasinya. Bergerak dia mencari posisi duduk paling nyaman, kemudian menatapku. Huft, aku paling tidak suka situasi seperti ini. Aku yakin, aku pasti kalah ketika dia mulai menatap mataku ini dalam-dalam. Sempat kupalingkan pandanganku ke arah yang lain mencari pengalih dari situasi ini.

"Zee," panggilnya melembut.

Akhirnya kuberanikan diri meliriknya yang masih menatapku lekat ini.

"Ya," jawabku lirih saat keberanianku mulai mengkerut. Kualihkan pandanganku ke sisi kemejanya. Harum khas parfum miliknya menggoda penciumanku yang terkenal tajam. Tak kusangka dia raih tanganku dan digenggamnya lembut. Kulayangkan raut muka protes mencari jawaban dan pandangan kami bertemu.

"Aku suka orang orang romantis bukan berarti aku suka setiap orang yang punya sisi romantis. Aku akui, akupun bukan orang yang benar-benar mengerti makna romantis. Karena itu, aku ingin seseorang mengajarkanku makna romantis miliknya."

Digesernya tanganku merapat ke tubuhnya. Tatapannya masih belum beralih, tepat menghunus kedalaman ruhku. Senyuman tipis mengiringi kalimatnya yang aku rasa memang sengaja dia potong menunggu reaksiku. Sayangnya aku memang tak memberikan reaksi apapun. Kami sama-sama menunggu. Hembusan nafasnya terdengar menggelitik di telingaku begitu juga nafasku sendiri dalam malam sepi di sisi bukit ini.

"Aku menginginkan keromantisanmu," begitu lanjutnya dengan nada yang masih mengambang.

Aku masih tetap menunggu karena masih mencerna kalimat terakhirnya. Langit, bulan, dan pepohonan juga semilir angin rasanya juga ikut menunggu. Nuansa ini benar-benar hening. Kurasakan genggaman tangannya semakin erat.

"Hanya untukku, Zee. Keromantisanmu." begitu tegasnya dia mengakhiri maksud kalimat yang mengambang tadi.

Sedikit dibuat terkejut setelahnya. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Kerutan alis dan helaan nafas yang sangat panjang membuat raut wajahnya sedikit mengisyaratkan kecewa. Aku masih terdiam sambil memaksakan merangkaikan kata-kata tapi nyatanya gagal.

"Bib, aku tak bisa." kutarik nafasku sedalam mungkin.

"Keromantisanku ini akan ada yang memiliki. Keluargaku sudah merencanakan. Bulan depan aku didaulat menikah atas pilihan mereka. Maaf." kuakhiri kalimatku dengan sangat lirih. Aku sudah tak mampu lagi menjaga intonasinya yang mulai goyah.

Habib, dia adalah teman saat menikmati rembulan dengan menu sederhana, kopi hitam kesukaan kami berdua. Pertama bertemu pun di sudut yang sama, bilik paling pinggir tempat paling luas menatap rembulan dan lampu kota di kejauhan. Dia yang menyapaku dahulu saat itu. Kami pun berkenalan dan obrolan pun berlanjut dihias banyak kesamaan.

Dia pun melepaskan genggaman tangannya dan kembali pada posisi awalnya menatap bulan. "Aku tahu aku terlambat. Aku juga tahu kau akan menikah. Aku tahu aku pun tak mampu menawarkan pilihan, Zee. Selamat berbahagia."

Kini, tatapanku yang tak mau beralih dari sosoknya. Sosok yang tak lagi menatapku dengan lekat. Sosok yang menggantikanku dengan keberadaan rembulan di langit sana. Sosok yang masih membuatku mencintainya dan harus melepaskan makna cinta untuk pertama kalinya. Habib, andai kau tahu rasa yang tak sanggup menahan isak tangis, malam ini aku harus melawannya.

"Terima kasih, bib." sahutku sambil kembali menatap bulan yang sama.

I am IDIOT, yes . . . I do



"Don't argue with idiot, karena kalo kita maksain argue sama idiot, yang ada kita yang bakalan mereka seret sampai ke level mereka"


This is not a headline, this is true hot topic.

~~

Penggalan tersebut saya ambil dari sebuah ceritera yang dikisahkan oleh seorang teman ketika beliau menghadap dosen pembimbing untuk meminta tanda-tangan mengenai thesisnya. Wejangan itu benar adanya ketika beliau akhirnya dihadapkan pada situasi yang membelit hati nurani serta ego yang memanas.

Dan saya tidak akan menceritakan apa yang terjadi pada beliau, karena memang bukan itu tujuan saya menulis malam ini. Cukuplah saya sampaikan kepada dunia di mana saya pernah bersemi.

~~

Menjadi seorang penulis memang sebuah langkah yang saya ambil bertahun silam. Awalnya lebih menyenangkan menjadi pujangga perangkai kata gombal. Tapi kecintaan saya yang begitu mendalam pada rajutan kata, membuat saya melangkah dan berpijak pada dunia menulis seutuhnya.

Kelebihan seorang penulis memang tercermin dalam sihir kata. Bagaimana anda kan menangis ataupun terbahak seketika karena sihir kami yang begitu dahsyat. Tapi kelemahan penulis, kami tak mampu memprediksi sampai sedalam apa kisah ini kan bertaut di benak anda dan seperti apa anda kan mengakhiri cerita kami yang selalu sumbang. Prasangka yang muncul setelah memberikan semua idealis yang tertuang dalam barisan makna, seharusnya memang bukan tanggung jawab kami. Tapi apa mau dikata, kepada siapakah pembaca kan mengadu selain hanya pada si penulis?

Bagi saya menulis adalah seni. Dan seni membutuhkan ruh dan jiwa tersendiri. Bila ruh itu telah lepas, seni itu akan berhenti, mentok. Begitu juga yang pernah dialami Keenan (Perahu Kertas - Dewi Lestari).

Ruh yang saya miliki pun masih tergolong muda, lebih cepat goyah karna melangkah bersama kehidupan yang keras (sebagian dari anda mengatakan 'labil'). Dan saya beri nama ruh ini : perasaan. Ketika saya sakit, akan saya katakan sakit dalam sebuah alur yang membuat sebagian anda terpikat dan terlena. Begitu pula jika saya melonjak riang, pasti anda pun akan terserak gempita merasakan aura magisnya.

Hingga detik ini, seringkali saya berhenti menarikan jari di atas tuts-tuts huruf yang tengah menanti. Tak ada kata, tak ada cerita, karena memang tak ada perasaan. Bukanlah hampa, bukanlah absurd. Tapi tak terdefinisikan, sehingga jari ini mau tak mau berbaring lemah di sudut yang berbahaya, tanda kreativitas mati dan kebebasan menulis terabaikan.

Berpuluh kali telah saya hitung, tak hentinya saya ditertawakan, pun pernah muka ini ditampar, bahkan sering pula raga ini dicaci maki atas hasil karya yang berbau nyeleneh sampai nyelekit. Tentu saja, ini karena saya mulai memasukkan hal-hal yang berbau vulgar, frontal, bahkan tabu bagi dunia. Jujur saja, hal ini terkadang membuat saya ragu dan terjatuh lemas.

Kini pun, seketika saya menjadi public figure, ah bukan ... enemy figure tepatnya. Semakin banyak rangkaian huruf yang mengagungkan kevulgaran dan kefrontalan. Sensasi dan euforia selalu tercermin di setiap sudutnya. Padahal jika anda jeli membaca, bukan itu yang saya inginkan. Juga bukan doktrin perubahan yang saya sisipkan. Tapi kejujuran perasaan yang menjadi dasar pada setiap apa yang saya gaungkan. Saya hanya ingin membagi, bukan menyakiti.

Berbalik pada kalimat yang saya garis bawahi di awal cerita. Anggaplah saya ini seorang idiot. Rasanya, saya memang benar-benar idiot ketika menulis. Apalagi jika topik utama bernafaskan tabu yang memburu nafsu alam dunia, saya tak mampu meminta ... tapi, dont argue with me. Karena jika anda memaksakan argue dengan seorang idiot seperti saya, dengan terpaksa saya akan menyeret anda ke sebuah level keidiotan yang saya miliki.






--Djogja, 17 Mei 2010 01:17 am--
--Reaksi memang timbul karena aksi. Begitulah yang saya baca tentang hukum dalam ideologi Fisika yang pernah saya anut. Dan ketika memahami susunan dalam tanda baca yang penuh goresan karat besi, saya pun juga harus mampu memahami reaksi yang sama bahkan bisa jadi lebih besar dari yang saya perkirakan sebelumnya.--