kenapa kau tak berdamai dengan kesalahan itu, Ibu



Baru satu tahun aku menikahinya. Lelaki yang sedikit tertutup tentang masa lalunya. Tapi entah kenapa aku bisa menebak apapun pikiran lelaki ini. Bahkan setiap helaan nafasnya, aku selalu bisa mengartikan maknanya. Seperti menerka tangisan bayi yang selalu berbeda tiap menitnya.


Keyakinan atas pernikahan ini pun tak kutahu dapat darimana. Ibu dan kakak satu-satunya penentang pernikahanku. Hanya ayah yang hadir dalam kebijakannya mau menerima kehadiran lelaki ini pertama kali di rumah.

~~

Delapan bulan setelah pernikahan sederhana itu, aku jatuh sakit. Flek paru-paruku kambuh lagi setelah sekian lama kutinggalkan kebiasaan begadangku. Mau tak mau, aku dirawat di rumah sakit dengan catatan full bedrest.


Berbaring terus-menerus sedikit membuatku bosan. Ketika hadirnya lelaki itu sepulang kerjanya, baru aku kelihatan sumringah. Dia selalu membuatku tersenyum hanya dengan kehadirannya di ruangan rawatku.

Ibu dan kakak juga ada di sana. Karena lelakiku memang harus bekerja, jadi ibu dan kakak bergantian menungguiku. Aku tak begitu keberatan.


Seminggu berlalu, ada sesuatu yang hilang. Tak lagi setiap hari lelakiku datang menjengukku. Pun ketika menjenguk, tak kutemukan perbincangan yang kurindu. Semuanya hambar, dia terlihat letih dan ingin cepat-cepat menghentikan apapun yang kuucapkan. Lebih sering menatapku sembari menghembuskan nafas berat. Dan aku selalu memilih tersenyum dan melepasnya pulang.


~~

Satu setengah bulan lewat. Lelakiku makin jarang menjengukku di kamar. Kata dokter besok aku sudah boleh pulang. Ingin kukabari pada labuhan rinduku kabar gembira ini. Sayang, sejak masuk rumah sakit aku memang dijauhkan dari ponsel dan barang elektronik lainnya. Notebook dan I-phone milikku lenyap disembunyikan dengan alasan kesehatanku.


Kakak, "Mana suamimu? Mau pulang gini kok gak pernah datang."

Ibu, "Kamu pulang ke rumah Ibu aja kalo gitu. Nanti pulang ke rumahmu ndak ada yang ngerawat. Dah biar Ibu dan kakakmu aja yang ngerawat kamu."


Ibu dan kakak memang tinggal seatap. Dulu Ibu memaksaku tinggal bersama mereka, tapi aku tak mau. Aku selalu mengidamkan punya rumah dari keringat sendiri.


Detik kepulanganku, tak juga kutahu kabar kekasih hatiku. Akhirnya aku mengalah, aku mau dirawat di rumah Ibu dengan sedikit menggenggam kecewa.


Sudah satu minggu berselang. Ponselku pun tau-tau mati seakan tak mau kugunakan. Kupinjam milik Ibu dan kakak katanya tak ada pulsa. Mau pakai telpon rumah, katanya diputus. Rasa-rasanya komunikasi rumah ini mati begitu aku sampai di sini. Aku yang masih belum bisa ke mana-mana, akhirnya mengalah dan berdiam di kamar.


~~


Suatu sore, ada ribut-ribut di luar rumah. Aku yang baru selesai mandi langsung menghambur keluar. "Mas Tio?!!" teriakku. Kulihat Ibu sedang bertengkar hebat dengan suamiku di pagar rumah.


"Kalian ini kenapa? Gak malu apa sama tetangga kok teriak-teriak di depan rumah!" omelku sambil membukakan pagar rumah dan menggandeng Mas Tio masuk.


"Pokoknya Ibu ndak mau dia masuk rumah!!" omel Ibuku tak kalah hebat dan bergegas masuk. Kakak yang kulihat memicingkan mata ke arah suamiku juga hanya melengos dan melangkahkan kakinya mengikuti Ibu ke dalam.


"Duduk mas, di sini aja ya." begitu kataku sambil sesekali masih melirik ke arah dalam, takut Ibu keluar lagi.


Kukerlingkan mataku dan tersenyum pada sosok yang sangat kurindu sekian lama. Entah kenapa Mas Tio hanya terdiam.


"Mas curang ya, nggak ada kabar. Lama banget, ke mana aja sih?" sahutku memecahkan keheningan ini.


Mata Mas Tio berkaca-kaca, tak lama dia sesenggukan sambil merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku tau ada yang tak beres, tapi aku tak tau di mana letak ketidakberesan ini. Kulepaskan pelukannya dan kupandangi wajahnya, tersirat samar gurat kelelahan yang sangat.


"Pulanglah, , , bersamaku." kata lelakiku dalam kepayahan.


~~


Kini Ibu dan kakak ada di hadapanku. Mas Tio sendiri ada di sampingku. Kami berempat ada di ruang tamu. Saat-saat seperti ini, aku jadi rindu kehadiran ayah. Ah, ayah...sudah berapa bulan berselang ketika aku menjadi saksi tubuh kaku yang berbaring di tanah pekuburanmu yang basah. Ayah yang hadir dengan kebijakannya selalu menegarkanku tak boleh menangis di kondisi paling rumit milik kehidupan ini.


"Kau mau pulang?" pecah Ibu dengan dinginnya mengawali perbincangan alot sore ini. Aku sendiri hanya mengangguk mantap.


"Kau mau pulang dengan lelaki yang bahkan tak pernah ada di sampingmu waktu sakit!!" sentak kakakku yang membuatku sedikit kaget. Cepat-cepat kukuasai emosi dan situasi ini. Kembali aku mengangguk mantap.


"Mana yang kau pilih? Ibu atau dia!" dingin yang Ibu pancarkan seperti kilat tersambar di langit biru petang.


Kuhirup udara perlahan, barangkali ada energi terseok di dalamnya untukku, "Aku pilih Tuhan, Bu..."


"Kurang ajar bawa-bawa nama Tuhan di sini. Kau ini anak durhaka yaa. Tak mau memilih ibumu sendiri!" dengan kasarnya kakak memutus penjelasanku.


"Aku harus menuruti kemauan suamiku, tapi aku juga tak boleh menyakiti Ibu dan saudaraku. Begitu agama menjelaskannya padaku. Dan aku memilih Tuhan, karena hanya Dia yang membimbingku. Jika pada akhirnya aku dibimbing menuju kalian, aku pasti akan datang pada kalian." potongku tegas.


Kulihat Ibu yang menahan amarah dengan dada naik turun. Kakak hanya terdiam, mungkin tak tau berkata apa. Kulirik ke arah lelakiku, "Katakanlah sesuatu, Mas."


Mas Tio memandangku sepintas dan kembali ke sorot tajam Ibu pada kami berdua, "Aku akan menjaga perempuan ini. Dia, putri Ibu dan adik tercinta, Tiara yang terkasih."


"Kauu..!! ANAK DURHAKA!! Tak usah pulang kemari lagi sampai kapanpun!!" teriak Ibu sambil berlari ke arah kamar. Kulihat kakak menyusul.


Entah ini drama atau benar kejadian nyata. Kuhempaskan tubuhku ke sofa. Genggaman tangan lelakiku tak berasa apa-apa.


Sejenak kemudian aku berdiri, kulepas genggaman itu perlahan sambil tersenyum, "Sebentar yah."


Lalu kuketuk satu-satunya pintu di kamar lantai satu ini. Kakak yang membuka, "Mau apa?!"


Kutantang nyalat matanya, "Anak durhaka mau bertemu Ibunya. Hanya ber-du-a." begitu tegasku.


Kakak pun membuka pintu kamar lebih lebar dan keluar. Kubisikkan sekilas saat dia tepat ada di sampingku, "Jangan ganggu suamiku lagi."


~~


Pintu kamar sengaja tak kututup. Aku duduk di hadapan Ibu yang menangis sambil memeluk selimut.


"Ibu, maukah Ibu mendengarkan anak durhaka ini barangkali?" tanyaku lembut.


Ibu hanya terdiam dan meredakan tangisnya. Kuhapus air matanya yang menetes di pipi keriputnya.


"Aku selalu sayang Ibu." kubisikkan kata-kata itu sambil kubenahi rambutnya yang kusut.


"Apa salah Ibu!! Kenapa kau mau menikahi lelaki seperti itu? Apa salah Ibu, naak!!" kembali Ibu sesak dalam tangisnya.


"Kenapa tak berdamai saja dengan kesalahan itu, Ibu? Menerima kenyataan terlewat dan biarkan kekuatan tersisa menggiringmu bangkit dari sini, kekecewaan." sahutku perlahan lalu kukecup guratan-guratan menua di kening milik Ibu.


"Mana bisa Ibu menerima ini semua? Kembalilah pada Ibu, nak. Jangan jadi anak durhaka untuk Ibu." bujuk Ibu yang hanya kujawab dengan sebuah gelengan.


"Walau aku durhaka, aku masih mencintai Ibu. Begitu juga kupastikan cucu-cicitmu nanti. Tak boleh satupun yang membenci neneknya yang masih cantik ini." sembari kulancarkan senyum khasku yang selalu berhias lesung pipit di kedua ujungnya dan kini kukecup hidungnya yang merah karena kebanyakan tangis.


Setelah kupandangi wajah milik Ibu, aku pun berdiri dan menuju ke pintu kamar. Sebentar aku berbalik dan kukatakan lirih, "Bu, aku akan kembali. Saat Ibu mau menerima kami berdua."


~~


Kembali ke rumah milik kami, aku dan lelakiku saja. Kumasuki halaman yang kurindu. Kujelajahi setiap lukisan yang terpajang di dinding perak. Kubalikkan tubuhku dan kuberikan senyuman pada satu-satunya lelaki di ruangan ini, "Aku rindu. Sungguh rindu."


"Dan akupun tak mungkin bahagia, walau telah menculik tuan puteri istimewa dari kerajaan ternama."


"Kamu harus cerita apa saja yang terjadi selama kamu menghilang, Mas. Tak boleh satupun terlewat."


"Aku lelah, honey. Besok saja?"


Dan aku pun tersenyum.


~~


Satu episode yang terlewat di langit senja rumah sakit:


Kakak, "Kesempatan ini tak boleh terlewat, Ibu. Ibu bisa membawanya pulang dan memisahkannya dengan lelaki rendahan itu."


Ibu, "Ya, Ibu juga berpikir begitu. Sudah seminggu ini Tiara dirawat. Kalau kita bisa membatasi akses lelaki rendahan itu untuk menjenguk Tiara. Makin lama makin tak bisa, dan akhirnya Tiara sendiri yang menyerah?"


Kakak, "Dan Tiara harus berpikir bahwa lelaki itu sudah tak sudi lagi menemuinya."


Ibu, "Lalu Tiara bercerai dari lelaki itu. Dan kita ke Belanda seperti rencana semula. Tinggal di sana dan biarkan bisnis di sini dikelola suamimu."


Kakak, "Hilanglah sudah satu rintangan mengawinkan Tiara dengan pebisnis Belanda kaya raya itu."


Ibu, "Harusnya Tiara tak pernah bertemu lelaki dari kasta rendahan seperti dia."


Kakak, "Lelaki itu mesin uang semata, Ibu."


Ibu dan kakak pun mengakhiri sore itu dengan tertawa terbahak kemudian terdiam mengamati sekitar dan tertawa lagi kemudian.






--Jogjakarta, 19 Juni 2010 17:49--
--tak pernah kuharapkan aku dilahirkan di keluarga mana sekaya apa dan sehormat apa, tapi aku selalu berharap aku mampu mensyukuri sebagian nikmat yang dilekatkan padaku bahkan sejak sebelum aku menangis di bumi. Bukan harta, martabat, dan kerabat yang akan kubawa mati...melainkan 3 hal yang selalu dibisikkan padaku. Sedekahku, ilmuku yang bermanfaat, dan doa anak-anakku yang shaleh.--