kisah cinta terusang




Rentang hari sudah semakin sore. Matahari yang melekat sejak pagi juga sudah mengatupkan janji perkasanya. Area senja telah terpapar rapi di setiap ujung kaki langit.

Kalau dihitung-hitung resmi sudah aku menjalani 17 jam hari istimewa. Hari ulang tahun ke-25 milikku atau apapun dunia menyebutnya. Hanya satu ucapan seseorang kutunggu-tunggu sejak malam buta. Hingga kini tak ada kabar. Cuma satu pesan singkat mampir di telefon genggamku.
"Kalo nggak ada acara, nanti kujemput jam 8. (Dean)"

Di lantai lima gedung kantorku ini, aku menanti detik-detik waktu berdenting menunjukkan pukul 5 sore. Aku ingin segera pulang, mandi paling wangi, pakai baju paling manis, memilih aroma parfum paling unik. Hari ini aku ingin tampil lain. Tapi kenapa kerjaan masih menumpuk tak kunjung usai. Ah, proyek seminggu lalu ini sudah berkali-kali gagal masuk final karena manajer divisiku belum juga puas tentang kerjaan timku.

Sambil meminum cokelat panas jatah kantor, akhirnya kuteruskan sedikit koreksi di beberapa paper. Nekat pukul setengah enam nanti, aku baru pulang. Pun kalau ngotot di kantor, tetap saja aku tak mampu berpikir apa-apa, pikiranku melanglang buana di dunia fantasi.

~~

Sampai di rumah, ternyata sudah pukul 7 malam. Buru-buru kuambil handuk dan membersihkan diri. Baru setelahnya proses mempercantik diri dimulai. Tapi rasanya memang tak maksimal, mau bagaimana lagi. Bagi Dean jam 8 adalah jam 8, tak ada 5 menit atau 10 menit kemudian. Hanya kalung yang pernah Dean berikan di awal hubungan tidak jelas kami membuatku sedikit bernapas lega karena masih menggantung cantik di leherku yang jenjang. Paling tidak, toh pasti Dean tetap bilang aku cantik.

Kulihat jam dindingku telah hampir memukul angka 7.50, akupun turun ke ruang tamu berniat menyambut Dean. High-heels sudah kusiapkan, semua sudah rapi, tak ada yang terlupa. Dua detik lagi pukul delapan dan . . . tepat !!

Ah, kenapa hening? Tak ada bel pintu seperti biasa. Kulihat jam dinding sekali lagi, delapan lewat setengah menit. Alisku pun mengernyit. Kubuka pintu depan cepat-cepat, melongok keluar pagar. Sepi. Agak kecewa karena baru pertama kali seperti ini. Kuputuskan kembali masuk ke ruang tamu dan menunggu.

~~

Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Tak juga ada kabar. Mungkin sudah seratus kali kupandangi layar telpon genggamku, tak juga ada sinyal-sinyal kehidupan di sana.

Kurebahkan punggungku ke sofa. Kupandangi dinding-dinding putih yang berjajar di sampingku. Rumah besar dan hanya sendiri. Mbok yem yang sudah lama membantu di rumah ini ijin pulang kampung seminggu lalu. Aku sendiri terlahir sebagai anak tunggal sekaligus yatim piatu sejak setahun lalu. Tak ada satupun yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang di Papua saat badai termasuk ayah dan bunda.

Hening sekali keadaan malam ini. Hanya jarum jam dinding yang kudengar berdetik tak berhenti.

~~

"tilut tiluutttt"

Sedikit kaget aku terbangun. Pukul satu dini hari. Sudah tiga jam aku tertidur.

"tilut tiluutttt"

Haduh, di mana pula henponku ! Ah, ini dia, ternyata di bawah bantal sofa. Kulihat layarnya sepintas, Adin, adik perempuan Dean satu-satunya.

"Ya, halo Din??"

"Mbak, mbak Ami udah tidur ya?"

"Kenapa Din?"

"Mbak, mas Dean kecelakaan semalem. Ini di rumah sakit Hopital. Masih operasi sih."

"Mama, papa, di sana juga Din?"

"Cuma mama, mbak. Papa ngurusin ke polisi."

"O ya udah, ini aku langsung ke sana."

~~

Cukup gahar juga malam ini apalagi jalanan juga sepi, seperti mendukung lajunya Baleno tua warna hijau metalik layaknya di arena pacuan kuda. Sampai di sana, kulihat sudah ada mama, papa, dan adik perempuan Dean. Kulihat papa dan Adin sedang menenangkan mama. Kupercepat langkahku.

"Tante? Om?" kusapa lembut walau getar khawatirku tak mau juga bersembunyi dan terpias begitu saja.

Kulihat papa Dean menggeleng pelan dan menatapku, "Dean pergi, untuk selamanya."

Entah perasaan apa yang muncul sesudahnya. Semuanya begitu campur aduk. Kusandarkan punggungku pada dinding putih rumah sakit, kepalaku pening tak mampu kutahan.

~~

Pemakaman serasa amat cepat. Di tanah pekuburan yang basah oleh hujan tadi pagi, aku didekati Adin.

"Mbak, barang ini buat mbak Ami. Kata papa, kemaren ditemuin di jaketnya mas Dean. Adin, mama, sama papa pulang dulu ya mbak. Mbak masih mau di sini?"

Kuterima bungkusan kecil warna merah muda, bukan warna kesukaanku dan Dean pun tahu. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan kuucapkan terima kasih pada Adin. Memang pada keluarga Dean aku lumayan dekat, apalagi pada adik perempuannya itu. Tapi bisa dibilang juga masih sedikit menjaga jarak karena aku dan Dean memang tak pernah memiliki komitmen apapun tentang hubungan perempuan lelaki ini.

Tanah pekuburan sepi dan hening. Hanya ada aku yang malas pulang. Bersandar adalah kesukaanku. Pada pohon teduh di sisi nisan 'Andrean Kurnia bin Danu Priyo', kembali kusandarkan punggung ini sambil mengamati bungkusan kecil merah muda.

Kubuka perlahan, ada tulisan kecil : "teruntuk Ami, happy birthday yaa", hmm ... memang untukku ternyata. Sebuah kotak warna merah hati. Kubuka lagi knopnya dan kutemukan cincin manis sederhana dan sebuah tulisan, "Will you marry me, Ami? (Dean)"



--Jogjakarta, 22 Juni 2010 16:08--
--hanya sebuah kisah usang tentang cinta--

pic source = photobucket.com