berbisik

“Hujan kembali mendera bumi,” bisikku pada jendela.
“Meretakkan langit, menurunkan rintik.”
“Menghanyutkan bening...”

“Non Asya, telefon,” ujar bibik ragu-ragu di belakangku.

“Iya, aku dengar deringnya. Tutup saja, Bik.”

“Tapi ini dari ibu, Non?” tanya bibik sekali lagi.

“Tutup saja, saya sedang berfikir.”

Bibik berlalu dari kamarku. Kuhela nafas panjang.

“Gemuruh mengalunkan irama,” bisikku lagi pada teralis.
“Garis mendung milik langit mengantarkan perlambangan.”
“Mengalir air dalam arusnya, deras, pekat.”

“Non, kali ini bapak yang nelfon,” ujar bibik masih ragu-ragu di belakangku.

“Tutup saja, Bik.”

“Bapak ngotot bicara, Non,” bibik menunggu.

Kuhela nafas panjang dan turun ke lantai satu meraih telefon.

“Hello, Daddy. How are you? Holland still winter, yea?” tanyaku basi.

“Asya!!” kudengar hampir jeritan di sana.

“Daddy, pleace. Calm down lah. Asya tahu, Asya sudah gugurin tadi pagi. Dukun dari Bogor.”

“Kamu langgar janji kamu ke Daddy juga mommy. You know what its mean!!” kujauhkan telfon dan memandang hujan dari pinggir jendela.

“ASYA!! Asya!! Are you hear me?!” buru-buru kuraih lagi gagang telefon.

“Yea, I know,” kututup malas telefon dan kembali ku duduk di pinggir jendela.

“Meregangkan satu nyawa, mengusirnya pergi dari kehidupan,” bisikku pada tirai.
“Kau beruntung tak mengecap kehidupan.”

“Non, Non!! Duh, Masya Allah. Non Asya kenapa?! Aduh ini gimana? Non, bangun Non. Pak Tarjo, Pak !!! Tolong, aduh, TOLOONG!!!!”

Kulihat dari pinggir jendela, bibik sibuk membangunkanku, pak Tarjo sibuk membopongku, dan aku hanya terpaku pada merahnya kasur putihku. Ahh, tubuhku mau dibawa ke mana oleh mereka.





--Jogjakarta, 20 Marei 2011 14:02--
--hanya klise--