ketika nama tak lagi bermakna



Lalu kau akan terbang,
berlandas ombak diselingi sinar mentari
bersama anyelir yang gugur tanpa angin

Desember 31, 2009


Kututup buku harianku dan memandang mendung yang mengalir di langit luas. Kurebahkan punggungku pada kursi akar wangi kesukaanmu, rasanya kau masih di sini. Hangatmu masih tersisa dan itu membuatku tersenyum tipis.

"Anyelir"

Rasanya ada yang memanggil namaku, tapi tak ada siapapun ketika ku menengok. Ah, halusinasi.

---

"Pak, ini sudah saya masukkan ke kardus semua. Tinggal nunggu si Mamang masukin ke pick-up."
"Pak ... pak ?!"


"Ah, ya, bik. Makasih ya." kulihat bibik pun berlalu ke dapur membereskan yang tersisa.

Aku masih terpaku pada kursi akar wangi yang kosong, tempatmu menungguku pulang. Hari ini tepat tiga tahun kita menempati rumah ini, rumah yang kubeli dengan keringatku sendiri. Sekarang, tanpamu, aku memilih pergi.

"Anyelir," bisikku memanggil namamu.

---

"Pak, sudah rintik. Hampir hujan, mari pulang."

"Bibik ke mobil duluan saja, sebentar saya masih mau di sini."

Kulirik dari sudut mata, bibik pun berlalu. Dan aku masih terpaku padamu, pada sebuah batu.

Anyelir binti Gunarjaya
Lahir : 2 Juni 1982
Wafat : 30 Desember 2009

"Baik-baik ya, sayang. Aku pergi. Ah ya, selamat tahun baru."
"Anyelir," kubisikkan lagi nama pada nisanmu.

---

"Kenapa kamu lama sekali, sayang? Jam segini masih belum pulang" batinku.

"Anyelir"

Kutengok lagi ke arah pintu, dan lagi-lagi aku berhalusinasi suara bisikan yang memanggil namaku. Kuhela nafas berat, dan kembali merebahkan punggung di kursi akar kayu wangi kesukaanmu. Dan aku pun tertidur, lama.

---selesai---




--Jogjakarta, 28 Desember 2010 23:27--
--dalam benci kepada cinta--

pict. source = katie-d-i-d.blogspot.com

Melly Goeslow - Suara hati seorang kekasih