aku pergi

"Dia perempuan yang sudah mapan."

Aku sudah tau akan berakhir ke mana pembicaraan seperti ini. Rasanya dalam beberapa tahun ini, pembicaraan seperti ini sudah menjadi hal yang sangat biasa bagiku. Seperti sarapan pagi dengan sekerat roti dan segelas susu.

"Dia lebih dewasa dariku. Lebih tua tiga tahun."

Ya, dan aku lebih muda darimu. Lebih muda tiga tahun. Hal yang sangat berbanding terbalik dengan wanita itu. Bagimu dewasa adalah memanjakan, bukan dimanjakan. Aku sudah tau dari awal. Kebetulan aku bukan perempuan yang suka memanjakan, juga dimanjakan. Ketika setiap perempuan membutuhkan belaian di rambutnya, aku tidak. Atau jika ada perempuan yang selalu membutuhkan kecup di bibirnya, aku tidak.

"Aku bertemu dengannya di lingkungan kerja. Dia kerja di kantor sebelah."

Aku tahu, hubungan kita memang bertahan di tempat yang sama. Tidak maju, juga tidak mundur. Padahal salah satu dari kita selalu mengulang bahwa jarak bukanlah hal besar yang menjadi penghalang. Bukan berarti jarak tidak mampu mendekatkan hati yang tengah bercinta. Ah, rasanya cinta kita memang selalu hambar. Tak ada variasi kecuali suara gombal dan pesan murahan yang selalu kuterima melalui email.

"Minggu lalu aku bertemu dengan keluarganya."

Rasanya kau memang belum pernah bertemu dengan keluargaku. Aku tidak pernah yakin memiliki cinta untukmu. Aku juga tidak pernah yakin bahwa kaulah orangnya. Aku malas mengenalkanmu pada keluargaku. Jika aku salah, aku harus mengulangi segalanya dari awal. Sungguh sangat membosankan.

"Dan aku sudah melamarnya."

Bagus. Akhirnya setelah kesana-kemari, kau mulai masuk pada intinya. Aku tak butuh lelaki yang suka bertele-tele,"Jadi maumu apa?" lebih baik kuakhiri saja. Toh sudah jelas ke mana pembicaraan ini akan berakhir.

"Aku akan menikahi perempuan itu akhir bulan ini."

Kuminum kopi terakhir di gelas. Sekali telan, sudahlah.

"Baik, aku pergi," jawabku sambil berdiri, meninggalkan yang telah lalu.





--Jogjakarta, 4 April 2011 15:41--
--dia bukan untukku--