I gone



Langit terlihat sedikit mendung padahal malam hampir tiba. Lampu-lampu jalanan sudah mulai dinyalakan.

Sedikit ragu tersimpul di ujung jariku. Hampir 15 menit hanya kupandangi layar handphone ini. Ada sebaris kata dan sebuah nomor tujuan. Juga masih ada pertanyaan, "send?"

Menit ke 20 lewat sudah. Dengan menutup mata, akhirnya kutekan tombol "yes".

---

"Hei."

"Ah, hei." kagetku.

"Hmm, udah pesan minum?" tanyamu.

"Enggak lihat apa ada jus jeruk hampir habis di depanku? Lama banget sih. Kirain enggak bakal dateng," manjaku.

"Aku pesen minum dulu ya." jawabmu singkat sambil berlalu ke arah meja barista.

Kupandangi kau yang berjalan ke arahku dengan senyuman mengembang.

"Pesan apa?" basiku.

"Biasa. Hazzelnut mochalatte." jawabmu sambil menahan mataku ke arahmu.
"Enggak pesan lagi kamu?"

"Enggak ah. Mau ngomong langsung aja sekarang."

"Ngomong aja," potongmu.

"Hubungan kita mau dibawa ke mana?" tanyaku pelan.

Kau terlihat kaget dan berusaha untuk menguasai dirimu sendiri. Mungkin kau sedang menyusun jawaban.

"Maaf," ucapmu sangat lirih.

Hening di antara kita. Kuhela nafas sedalam-dalamnya.

"So I should have gone," tatapku tajam sambil menunggu reaksimu.
"I gone," tegasku kemudian sambil bangkit berdiri dari kursi yang mulai terasa panas.

"Mau ke mana?" tanyamu sambil meraih tanganku.
"Duduklah dulu sebentar."

"Untuk apa, Awan?"

"Friend, may be?" ragumu.

"No, thanks," kutepis tanganmu dan pergi berlalu.

---

Kumasuki kamar yang sudah 4 tahun ini sering kudatangi. Kulepas high-heelsku dan kulempar begitu saja ke pojokan. Kurebahkan segera tubuhku ke kasur empuk di sana.

"Pulang-pulang kok gak cuci kaki sih?"

"Biar," jawabku sekenanya.

"Habis dari mana hunney-ku ini?" beralihmu dari meja komputer ke atas kasur dan menindihku.

"Nyobain cafe sama si Awan tadi pulang kantor."

"Hmm, temen divisi sebelahmu itu?" kau belai hidungku pelan.

Kuanggukkan kepalaku malas. Kau memandangku lama, lalu memagutku pelan.

"Nis," panggilmu.

"Kenapa Fion?" panggilan mesraku untukmu.

Kau berdiri dan mengambil sesuatu di laci meja komputermu.

"Will you marry me?"

Kau tunjukkan sebuah cincin mungil nan cantik dan aku hanya mampu meneguk ludahku sendiri, tak tahu harus menjawab apa. Karena bisa jadi, Fion adalah lelaki keempat malam ini yang bakal kuputus hubungannya. Pacarku ada tujuh.

---


--Jogjakarta, 13 Oktober 2010 23:14--
--konyooolll, cerita nakal euih--


pict. source = photobucket.com